Entomologi


PENDAHULUAN
Tujuan utama mempelajari serangga ialah memahami hubungan yang terjalin antara serangga dan manusia. Pemahaman ini mengandung kepentingan yang besar, karena kehidupan sehari-hari manusia tidak dapat dilepaskan dari dunia serangga. Tata laksana ini terbina dalam ilmu yang disebut entomologi. Kata “entomologi” berasal dari Bahasa Yunani entomologia yang dapat diuraikan menjadi entomon (= serangga) dan logos (= pembicaraan). Entomologi sebagai ilmu terus-menerus berkembang dari sekadar pengenalan sederhana menjadi ilmu yang sangat kompleks, selaras kebudayaan manusia, yang terus-menerus meluas, karena hubungan manusia dengan serangga yang makin kompleks.
Perhatian manusia terhadap serangga telah diberikan sejak ribuan tahun yang lalu. Bangsa Mesir Kuno menghubungkan serangga dengan aspek kehidupan keseharian mereka, seperti pertanian. Serangan belalang terhadap tanaman pertanian telah dilaporkan selama pemerintahan Ramses II, 1.400 tahun sebelum Masehi. Serangga juga pernah dihubungkan dengan kenegaraan, misalnya digunakannya tawon endas (Vespa orientalis) sebagai lambang negara Mesir Bawah pada tahun 3100 sebelum Masehi, dan bahkan “ketuhanan”, serta aspek sosial lainnya. Penggunaan kumbang “skarab” sebagai lambang Dewa Matahari Khephri atau Khepera yang disembah, merupakan hal yang tak asing dalam kebudayaan Mesir Kuno. Di Yunani, orang Ephesus (sekarang bagian dari Turki) menggunakan gambar tawon untuk menandai uang logam yang beredar pada tahun 400-an sebelum Masehi (Sheedy, 2005). Kitab Injil juga menyebutkan peran berbagai kehidupan serangga dalam kehidupan manusia. Di dalam Injil Matius (Matius 3:4) ditulis bahwa makanan Yohanes Pembaptis berupa belalang dan madu hutan. Kitab Al Quran (Sura 16) memuat uraian tentang lebah madu. Orang Indian Kuno di Amerika Selatan menggunakan serangga, khususnya kupu-kupu, sebagai inspirasi karya seninya, misalnya untuk motif sulaman dan kerajinan keramik, sedangkan Indian modern menggunakan juga serangga sebagai lambang (Diaz, 2005).
Di Indonesia sendiri tidak ada catatan mengenai waktu pertama kali orang memperhatikan benar-benar hubungan manusia dengan serangga. Kekurangan ini bukan berarti bahwa manusia Indonesia pada waktu-waktu yang lalu tidak memperhatikan serangga. Tembang dan sindiran yang berkait dengan perangai atau ciri serangga menandakan telah adanya pengamatan manusia Indonesia terhadap ciri dan peri laku serangga. Sayangnya, pengetahuan ini tidak terdokumentasi dalam tulisan.
Walaupun entomologi telah berumur ribuan tahun, masih tersembunyi timbunan salawadi (mysteries) yang belum terungkap, yang telah memacu manusia untuk meningkatkan usahanya dalam menelusuri liku-liku salawadi dalam dunia serangga. Seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, entomologi juga mendapat sentuhan kemajuan untuk mengimbangi kemajuan ilmu pada umumnya. Seiring pula perkembangan di zaman pembaharuan “renaissance” – pada bagian kedua zaman ini (tahun 1000-1500) – terbawa pula penjelajahan manusia ke dalam dunia serangga untuk menumbuhkan entomologi menjadi ilmu yang makin mantap, sehingga kegunaan entomologi dapat ditingkatkan untuk kesejahteraan manusia.
Manfaat entomologi untuk manusia berhubungan dengan hidup sejahtera, yaitu hidup sehat, tercukupi segala kebutuhannya, serta terjamin keamanannya. Sebagian besar komponen kesejahteraan tersebut ditentukan entomologi. Dalam bidang kesehatan, entomologi telah membantu manusia mengatasi masalah penyakit yang ditularkan serangga, seperti malaria, demam berdarah, chikukunguya, kaki gajah, kebutaan dan penyakit tidur. Entomologi terbukti pula dapat didayagunakan dalam penyediaan pangan dan bahan industri, misalnya sutera, lak, malam, madu, dan bahkan tubuh serangga sendiri. Di sektor lain, pengetahuan terhadap kehidupan serangga juga telah menunjukkan bantuannya. Perang terhadap hama dapat dimenangkan oleh manusia berkat telah ditelusurinya liku-liku jalan hidup serangga.
Kini telah lebih banyak pelik-pelik serangga yang mulai diketahui dan dipecahkan. Perangainya, cara memeliharanya, kelemahannya, hasil yang dapat dimanfaatkan manusia, dan hal-hal lainnya makin terungkap. Makin lama makin dapat dibedakan serangga yang “merugikan” dengan serangga yang “menguntungkan”. Makin lama makin tegas pula tindakan yang dilakukan terhadap kedua golongan serangga tersebut. Terhadap yang merugikan diusahakan tindakan untuk mengendalikannya, sedangkan kepada yang menguntungkan disediakan tempat terhormat serta usaha untuk melestarikannya. Ada timbal baliknya, yaitu bahwa semua tindakan tersebut juga mendorong kemajuan di bidang entomologi sendiri. Begitulah seterusnya, sehingga pengenalan terhadap dunia serangga makin meningkat, dan perlakuan terhadap serangga makin tepat.
A.    Entomologi di Indonesia
Di negeri kita, hubungan manusia dengan serangga ini telah lama disadari, sejak dongeng rakyat dan perumpamaan mulai diceritakan turun-temurun dari mulut ke mulut. Cerita yang juga berbentuk tembang telah mengungkapkan ciri atau peri laku serangga tertentu, tetapi pengetahuan tersebut masih dalam bentuk semu dan samar-samar, belum terwujud sebagai ilmu.
Pada awalnya, entomologi datang ke Indonesia hanya sebagai “tamu”. Ilmu ini masuk ke dan keluar dari Indonesia tanpa meninggalkan bekas karena tidak ada sarana atau perangkat yang tersedia untuk menerimanya. Begitu tamu kembali ke tempat asalnya, kembali pulalah ilmu itu dan meninggalkan Indonesia. Keadaan ini terus berlangsung sampai para ilmuwan tamu itu menyadari benar perlunya menumbuhkan entomologi di Indonesia sendiri. Gagasan ini tidak muncul seketika, tetapi memerlukan akumulasi yang akhirnya tercetus menjadi kenyataan, ketika pada akhir abad ke-19, tahun 1894, didirikan laboratorium serangga di Bogor. Waktu inilah titik awal diresmikannya penumbuhan entomologi di Indonesia.
Dari awal tersebut mulailah entomologi merayap di bumi Indonesia menelusuri jalan perkembangan yang tidak luput dari pasang dan surut. Pada tahap permulaan, ruang lingkup entomologi ini masih sangat terbatas, yang tidak lain adalah pengenalan dan pergaulan dengan hama. Terdorong kebutuhan mengenal nama jenis hama, entomologi berkembang menjadi taksonomi alfa1, terbatas pada pengenalan dan pemberian nama serangga.
Tahap awal taksonomi ini di Indonesia tidak pernah berkembang lebih lanjut. Sumber daya pendukungnya, ditambah kebutuhan terhadap entomologi yang terpusatkan pada penanganan hama setempat dan prestise dunia, membatasi entomologi pada lingkup yang sempit. Sedikit perkembangan terjadi bersama kegiatan Alfred Russel Wallace. Pada masa 1837-1879, A.R.Wallace melakukan kegiatan penjelajahan di Sulawesi Utara dan sekitarnya, untuk mengungkapkan peran dan kedudukan takson serta hubungannya dengan daerah sebarannya. Perkembangan ini tidak dapat berlanjut karena pengetahuan biologi secara umum yang menjadi kaitan perkembangan entomologi tersebut belum dimiliki oleh peneliti entomologi di Indonesia pada waktu itu. Corak entomologi di Indonesia tetap merupakan taksonomi klasik terbatas pada identifikasi nama ilmiah.
Keadaan demikian tidak statis, masih ada sentuhan perkembangan. Segi-segi lain juga berkembang, didorong kebutuhan yang harus dipenuhi pada waktu itu. Entomologi yang berkaitan dengan penyakit daerah tropika, seperti malaria dan filariasis, timbul dari kebutuhan untuk mengatasi masalah penyakit yang dihadapi ilmuwan tamu dan pelaksana pemerintahan dari luar pada waktu itu. Di sektor pertanian, entomologi dikembangkan untuk mengatasi masalah gangguan terhadap produksi pertanian, termasuk peternakan, perikanan, perkebunan, dan kehutanan. Perkembangan entomologi yang berkaitan dengan pertanian ini mengikuti jalur yang sempit, terbatas pada kebutuhan menangani masalah-masalah pada komoditi pertanian yang terbatas.
Perkembangan kegiatan entomologi di Indonesia telah berlangsung tanpa kepastian periode. Tidak ada indikator yang secara jelas menunjukkan akhir suatu masa atau indikator lain yang mengawali masa baru. Oleh karena itu, pengelompokan kegiatan entomologi di Indonesia akan didasarkan pergantian abad. Karena catatan yang dapat digunakan untuk menarik balik kegiatan entomologi tersedia hanya mulai abad ke-19, kegiatan entomologi di Indonesia dibagi menjadi era sebelum dan sesudah abad ke-20. Dalam abad ke-20, kegiatan dapat dikelompokkan menjadi sebelum dan sesudah Perang Dunia II.
a.       Sebelum abad ke-20
Penelusuran perkembangan pada periode ini ditarik ke belakang sampai sejauh waktu yang tak dapat ditentukan. Walaupun demikian, perkembangan yang terjadi mempunyai titik-titik pusat tertentu. Adanya kegiatan oleh tokoh tertentu atau peristiwa tertentu dapat menandai pusat kegiatan entomologi pada masa yang bersangkutan. Kegiatan ilmiah yang mulai mengungkapkan keadaan fauna pada umumnya – menyangkut pula artropoda – terjadi ketika George Everhard Rumph atau yang lebih dikenal dengan nama Georgii Everhardi Rumphius mengirimkan sepucuk surat tertanggal 20 Agustus 1662 kepada Direktur Utama “East Indies Company” (Vereeniging Oost Indi‘ Companie – VOC). Dalam surat tersebut dikemukakan permohonannya untuk bekerja mempertelakan berbagai kelompok makhluk dengan mencakup binatang. Pekerjaan ini terlaksana untuk kawasan Ambon dan sekitarnya. Kematian Rumphius pada awal abad ke-18 (1702) mematikan pula pelita penelusuran perkembangan ilmu mengenai binatang pada awal abad ke-18 ini.
Dari tahun 1700-an tidak banyak hal mengenai kegiatan entomologi di Indonesia yang dapat dikemukakan. Tidak ada tokoh atau peristiwa yang layak dicatat atau memberikan pertanda kegiatan entomologi. Dalam hal ini hanya dapat diambil deduksi terhadap dampak yang mungkin terjadi dengan terbitnya Systema Naturae edisi ke-10 oleh Carol von Linne (Carolus Linnaeus) pada tahun 1758. Buku ini telah merangsang para muridnya untuk melakukan kegiatan penjelajahan ke segala pelosok dunia. Rangsangan ini telah mendorong pula Francis Walker dari Inggris dan J. van der Wulp dari negeri Belanda untuk menjamahkan tangannya di kawasan Indonesia pada awal tahun 1800-an. Kegiatan entomologiwan Eropa di Indonesia ini dan di berbagai kawasan yang masih belum banyak terjamah, seperti Mesir, India, Birma, Indocina, dan Filipina, merupakan akibat perkembangan semangat penjelajahan ilmuwan – lebih tepatnya penggemar alam – yang dipelopori Carolus Linnaeus sejak beberapa dasawarsa sebelum pertengahan abad ke-18. Berpuluh tahun kegiatan entomologi hanya berkisar pada penemuan takson baru serangga.
Kegiatan penjelajahan sebagai dampak karya Linnaeus ini masih terus berlangsung. Pada masa itu, penjelajahan dan penemuan takson merupakan inti kegiatan biologi. Hasil penjelajahan yang berupa penemuan dan pertelaan spesies baru akan mengangkat derajat penemunya. Konsentrasi penjelajahan ditentukan terutama untuk tujuan pengungkapan unit-unit baru fauna, khususnya serangga. Dalam perkembangan selanjutnya, pengungkapan unit baru ini mempunyai corak yang sudah berbeda. Dengan penjelajahan seorang naturalis Alfred Russel Wallace pada tahun-tahun mendekati pertengahan abad ke-19, kegiatan entomologi di Indonesia bukan saja mengungkapkan adanya takson, tetapi juga peran dan kedudukan takson dalam habitatnya serta makna adanya takson terhadap susunan kehidupan di suatu kawasan. Penjelajahan dengan proyeksi sasaran seperti ini merupakan revolusi ilmu yang berkaitan dengan makhluk. Perkembangan semacam ini dimungkinkan karena kegiatan A.R. Wallace kebetulan meliputi dua region utama fauna dengan daerah peralihannya – yang kini dikenal sebagai Wallacea.
Kesimpulan dari pengamatan terhadap serangga dan komponen fauna lainnya di kawasan yang terbatas ini menyamai deduksi yang disusun oleh Charles Robert Darwin. Dari perjalanannya mengelilingi dunia bersama kapal “The Beagle”, Charles Darwin menyimpulkan data dan informasi alami yang diperolehnya ke arah pengembangan teori evolusi hayatinya. Dari deduksi A.R. Wallace terbukti bahwa pengamatan entomologi yang dikembangkan di Indonesia telah menjadi salah satu titik tumpuan perkembangan biologi modern (Wallace, 1890). Sayangnya, pengetahuan biologi umum pada waktu itu belum memadai untuk memanfaatkan penemuan Wallace dan Darwin. Kembalilah corak kegiatan entomologi di Indonesia kepada yang klasik, yaitu penjelajahan untuk menemukan takson baru. Walaupun demikian, kegiatan penjelajahan telah pula menimbulkan dampak sampingan di sisi lain. Timbullah beberapa sisi terapan, baik yang langsung maupun yang tak langsung, yang menyangkut sektor pertanian (dalam arti luas) dan kesehatan.
Mengikuti kegiatan penjelajahan di belantara Nusantara, timbullah pula keluaran tambahan selain penemuan takson baru. Ada pengaruh kebuasan belantara tropik yang terasa oleh para penjelajah. Yang sangat terasa ialah gangguan kesehatan yang dialami oleh para penjelajah dan pejabat pemerintahan yang bukan berasal dari Indonesia (Snapper, 1945). Gangguan utama ialah penyakit tropik. Tekanan penyakit tropik mendorong terbentuknya pelayanan kesehatan yang dilembagakan pada tahun 1826. Beberapa fokus diberi perhatian utama, di antaranya ialah malaria dan filariasis. Kedua segi kesehatan ini melibatkan serangga dan tentunya memerlukan pula penelitian dan pengembangan entomologi pada jalur ini. Mulai dari kejadian inilah secara resmi entomologi kesehatan tumbuh di Indonesia.
Di sektor pertanian perhatian utama pada waktu itu diberikan kepada pengembangan komoditi ekspor dan pertanian pangan. Komoditi ini merupakan andalan pemerintah kolonial pada waktu itu. Justru terbentuknya pemerintahan kolonial ialah karena komoditi ini. Pada pertengahan abad ke-19, mengikuti perkembangan kultuur-stelsel pada awal abad tersebut, penelitian mulai diarahkan kepada penggarapan perkebunan. Untuk keperluan ekspor dari sektor ini pengembangannya berlangsung sejak 20 tahun sebelum berakhirnya abad ini. Entomologi perkebunan berkembang secara khusus di samping entomologi pertanian lainnya.
b.      Dalam abad ke-20
Sebenarnyalah abad ke-20 ini merupakan awal perkembangan dan pemekaran kegiatan entomologi di Indonesia. Penjelajahan yang mengungkap-kan penemuan baru serta usaha meningkatkan komoditi ekspor dari perkebunan dan produksi tanaman pangan menimbulkan kebutuhan membangun laboratorium sendiri di Indonesia. Permasalahan utama ialah penanganan terhadap binatang. Inilah alasan utama diresmikannya laboratorium zoologi di Bogor pada tahun 1901. Sebelum secara resmi berdiri, laboratorium ini telah menggelar kegiatannya sejak tahun 1894. Inilah pula titik tolak pengembangan entomologi di Indonesia. Laboratorium ini diberi nama “Landbouw-Zoologische Labortorium” (Lieftinck dan van Bemmel 1945) diprakarsai oleh Melchior Treub sebagai Direktur Kebun Raya (‘s Land Plantentuin) dan dipercayakan kepada Koningsberger sebagai pengelolanya. Kemudian sejak pertengahan tahun 1940-an sampai kini terkenal dengan nama Musuem Zoologicum Bogoriense (Kadarsan et al. ,1994).
Sejak pendirian laboratorium ini, kegiatan entomologi di Indonesia – yang penyelesaiannya dilakukan di Indonesia sendiri – memperlihatkan dua jalur utama. Perpecahan dua jalur ini tidak dapat dihindarkan karena adanya dua macam kebutuhan yang berbeda, yaitu tradisi prestise dan kebutuhan ekonomi komersial. Penjelajahan untuk mengungkapkan penemuan takson dan identifikasi memperoleh kedudukan resmi, sedangkan penelitian peri laku dan peran serangga terhadap komoditi pertanian mendapat bantuan penyelesaian dari segi taksonominya. Penjelajahan menjadi tidak terbatas pada lingkup takson, tetapi juga mencakup pengamatan yang berkaitan dengan segi terapan. Kegiatan entomologi di laboratorium zoologi di Bogor ini cenderung untuk berfokus pada taksonomi. Kegiatan entomologi pertanian terakomodasi di lembaga yang berbeda. Peristiwa ini telah mengawali dan mendasari terpisahnya entomolgi dasar (basic) yang tetap bermukim di ‘s Land Plantentuin yang kemudian menjadi lembaga penelitian di bawah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan entomologi terapan (applied) di Departemen Pertanian Indonesia.
c.       Setelah perang dunia II
Sesudah Perang Dunia II kegiatan entomologi di Indonesia tidak segera bangkit kembali. Perang dan pendudukan Jepang benar-benar menghentikan laju kegiatan entomologi. Walaupun demikian, pada akhir tahun 1949, dirintis suatu pendirian “klub” yang akhirnya menjelma menjadi suatu perhimpunan yang dinamai Entomologische Vereeniging in Indonesi‘ (EVI – Perhimpunan Entomologi [di] Indonesia). Perhimpunan yang sudah mulai berdiri ini segera membentuk anggaran dasar yang pada asasnya mirip anggaran dasar NIEV, yaitu mendorong dan merangsang perkembangan ilmu serangga di Indonesia. Perhimpunan ini menerbitkan majalah Idea, yang bertahan terbit sampai tahun 1960. Karena anggaran dasar EVI dinyatakan berlaku sampai tahun 1964, diedarkan surat dari Pengurus Perhimpunan ini untuk mendirikan kembali perhimpunan entomologi di Indonesia. Baru pada tahun 1970, upaya pendirian ini berhasil dengan dibentuknya Perhimpunan Entomologi Indonesia di Salatiga pada tanggal 1 Oktober.
Dalam periode 1950-an sampai akhir tahun 1960-an kemacetan bertambah menonjol dengan situasi negara yang tidak memungkinkan pemulihan kegiatan penelitian. Dampak Perang Kemerdekaan, pemberontakan di beberapa daerah, dan situasi keuangan negara serta tiadanya tenaga pelaksana, praktis menghentikan perputaran roda kegiatan entomologi di Indonesia. Keadaan ini berlarut sampai mendekati akhir tahun 1960-an. Dalam periode kemacetan ini masih sempat dilakukan beberapa kali ekspedisi pengumpulan oleh Museum Zoologicum Bogoriense serta penelitian terbatas oleh lembaga-lembaga di lingkungan Departemen Pertanian dan Departemen Kesehatan. Selain jumlahnya yang amat terbatas, mutunya pun tidak terlalu dapat diharapkan, apalagi dampaknya.
Dalam suasana memprihatinkan ini para peneliti dan ilmuwan Belanda yang hampir mendominasi kegiatan ilmiah di Kebun Raya Bogor, yang menjadi pusat kegiatan biologi dengan “cabang-cabangnya” dalam botani, zoologi dan mikrobiologi, melakukan perpindahan massal ke negeri leluhurnya (Adisoemarto, 1999). Eksodus ini mendorong didirikannya Akademi Biologi pada tahun 1955. Selain Akademi Biologi, usaha untuk mengisi kekosongan di bidang pertanian juga pendirian Kursus Akademi Penyelidikan Pertanian pada tahun 1952. Kursus Akademi ini berakhir pada tahun 1957, tetapi kebutuhan akan tenaga memerlukan dilanjutkannya Akademi ini. Adanya Akademi Biologi yang juga diperlukan untuk menghasilkan para biologiwan muda harus dilanjutkan. Dengan strategi yang sangat indah, kedua akademi ini digabung, dan pada tahun 1957 dilanjutkanlah kedua akademi ini dengan Akademi Pertanian. Akademi terakhir ini berlangsung sampai tahun 1968. Dari sinilah dilahirkan entomologiwan dan ahli-ahli pertanian muda awal, yang sanggup mengisi kekosongan posisi ilmuwan dan ahli Belanda yang meninggalkan Indonesia.
Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) Pemerintah Republik Indonesia dimulai pada tahun 1969. REPELITA ini membangkitkan berbagai kegiatan di Indonesia, termasuk di dalamnya juga kegiatan entomologi. Sedikit demi sedikit kegiatan mengenai serangga mulai digerakkan. Arahnya ditentukan oleh kelompok yang ada dan memungkinkan terjadinya perkembangan. Pada waktu itu, yang menonjol ialah kelompok penelitian terhadap komoditi pertanian, terutama padi, dari gangguan hama. Perkembangan ini dapat terjadi karena terhimpunnya kekuatan kelompok yang telah ditumbuhkan di perguruan tinggi atau tempat pendidikan lainnya. Selain itu, kebutuhan negara dalam mencukupi pangan bagi rakyatnya mendorong penelitian terhadap serangga ke arah penanggulangan hama pertanian, khususnya padi. Mulailah perkembangan entomologi pertanian, yang terpusatkan pada pemberantasan hama padi. Kelompok lainnya praktis tidak mempunyai kekuatan, karena dalam pengem-bangannya tidak pernah dipersiapkan. Pada tahun 1960-an sampai tahun 1970-an keadaan entomologi di Indonesia mirip keadaannya pada awal abad ke-20. Suatu keadaan yang tidak dapat dibanggakan.

B.     Entomologi Terapan
Berbagai kegiatan entomologi yang berkaitan dengan ekonomi negara telah dilakukan sejak awal abad ke-20. Pada waktu itu negara ialah pemegang perdagangan yang telah diserahkan oleh VOC sejak tahun 1798 ketika VOC menyatakan diri pailit2. Kegiatan-kegiatan entomologi yang penting pada waktu itu termasuk penanganan terhadap hama teh pada tahun 1906. Kegiatan semacam ini bertambah meluas setiap tahun. Komoditi yang mendapat perhatian berikutnya ialah karet. Di samping itu, kelompok tanaman yang tidak menjadi komoditi ekspor pun memperoleh perhatian pula, di antaranya anggrek dan Ficus. Mulailah dilaksanakan pengamatan tehadap hama secara umum, termasuk serangga-serangga yang menjadi parasitnya. Sementara kegiatan entomologi pada komoditi tersebut terus berjalan, penambahan cakupan komoditi berlangsung juga. Pada awal dasawarsa kedua abad ini dimulailah penanganan terhadap hama coklat dan tembakau. Kemudian, penelitian dalam aspek entomologi ini berkembang lebih lanjut mencakup kina. Perkembangan ini rupanya terjadi pula pada sektor lain, termasuk kehutanan, di antaranya penanganan terhadap hama kayu jati.
Dimulai pada awal abad ke-20 ini, sebelum ditutupnya dasawarsa pertama, perhatian telah diberikan kepada serangga-serangga pengganggu padi. Perhatian ditujukan kepada hama pertama, Agrotis sp. dan Hesperia philino. Penelitian terhadap hama padi ini mendapat perhatian khusus dan dilakukan secara terus-menerus, sehingga parasitnya pun ikut diperhatikan. Kemudian dapat pula diungkapkan berbagai hama yang lain, penggerek batang padi dan wereng. Telah disadari sejak tahun 1916 bahwa wereng sangat berbahaya dan dapat memusnahkan padi. Kepentingan penelitian hama padi ini tercermin pada curahan perhatian khusus oleh K. W. Dammerman sejak tahun 1915, lima tahun sejak dia diangkat secara resmi menjadi entomologiwan3. Setahun sebelumnya, ia telah mulai penelitiannya dengan percobaan pemberantasan penggerek padi.
Selain memberikan perhatian khusus pada padi, Dammerman menyadari pentingnya belalang Valanga nigricornis sebagai hama. Kesadaran timbul setelah terjadinya keganasan belalang ini di daerah Semarang-Rembang dan Madiun. Sinyelemen Dammerman ternyata benar, yaitu setelah satu tahun kemudian, pada tahun 1916, dengan terjadinya serangan Valanga nigricornis yang menghabiskan perkebunan jati di Jawa Timur dan kelapa di daerah sekitarnya. Serangan belalang terjadi juga pada tahun yang sama di Ternate dan Halmahera, sehingga menurunkan jumlah ekspor.
Perhatian terhadap hama kelapa secara umum sebetulnya telah diberikan pada tahun 1913, ketika terjadi serangan Artona. Serangan ini menghebat pada tahun 1915, ketika perhatian lebih banyak ditujukan kepada padi. Mungkin karena pengalaman ini, selain diperdalamnya pengamatan terhadap hama padi, seperti walang sangit dan wereng, peningkatan pengamatan hama juga dilakukan terhadap kopi dan coklat serta kelapa sawit. Pengungkapan hama kelapa berlangsung terus sampai memunculkan spesies-spesies seperti Hidari irava, Oryctes dan Chalcosoma. Sementara Itu, serangan Artona makin meluas, sehingga pada tahun 1917 dilakukan penelitian khusus terhadap hama kelapa di Padang.
Di samping padi, komoditi pangan yang mendapat perhatian ialah jagung dan ubi jalar. Hama jagung mulai diperhatikan pada tahun 1909, bersamaan dengan perhatian terhadap padi. Dua tahun kemudian barulah pada ubi jalar. Terhadap ubi jalar ini penelitian terus dilakukan sampai penemuan Herse convolvuli dan spesies-spesies hama lainnya pada tahun 1917. Di samping spesies-spesies dari ubi jalar, penemuan hama diperoleh juga dari tumbuhan merambat lainnya, yaitu yang berupa lalat hama kerabat waluh (Cucurbitaceae).
Dengan pengalaman dalam menghadapi serangan hama dan pengetahuan tentang penanggulangannya pada tahun 1917 ini, makin banyak spesies hama yang diungkapkan. Pertambahan jumlah hama dan cara penyerangannya mendorong para entomologiwan dan ahli pertanian untuk mengubah konsep pemberantasan hama. Penjelajahan pengungkapan hama meluas sampai Sumatera. Dari pengalaman tersebut mulai disadari perlunya perhatian terhadap daur hidup serangga. Pada tahun 1913 Dammerman mulai memberikan perhatian dengan ikut meneliti ekologi hama. Dua tahun sebelumnya, aspek ekologi sebetulnya sudah disentuh, dengan dilakukannya penelitian terhadap aspek pestisida.
Selagi orang sibuk menangani berbagai hama, yang makin lama terlihat makin banyak, terjadilah pemasukan lalat buah, Ceratitis capitata, yang terbawa ke Indonesia melalui buah-buahan yang diimpor dari Australia. Pada waktu itu belum ada perhatian khusus untuk menghadapi masuknya spesies asing ke dalam negeri. Dari kejadian pada tahun 1914 ini timbul usaha untuk melakukan pencegahan pemasukan hama dari luar. Penjagaan ini dilakukan pula terhadap buah-buahan yang dimasukkan dari kawasan sekitar Lautan Tengah. Pada waktu itu gagasan mengenai karantina belum ada, tetapi kejadian ini mungkin menjadi dasar pengembangan karantina pertanian di Indonesia.
Penjelajahan, pengamatan dan penemuan untuk mengungkapkan hama pertanian berlangsung terus. Hama kacang-kacangan, pisang, kakao, agave, kentang dan lain-lainnya mulai terungkap. Kemajuan berlangsung terus sampai terjadinya Perang Dunia II. Walaupun demikian, catatan keadaan hama pertanian atau tanaman yang terdapat di Indonesia masih sempat terkumpul. Kumpulan catatan ini tersusun dalam buku-buku yang diterbitkan oleh L.G.E. Kalshoven dan J. Van der Vecht, serta H.J.V. Sody dan A.C.V. van Bemmel untuk mamalia dan burung.
C.    Kemajuan Entomologi di Indonesia
Publikasi hasil kegiatan entomologi di Indonesia yang terbit segera sesudah Perang Dunia II mencerminkan situasi kegiatan entomologi yang masih sangat terbatas. Keterbatasan ini terasa sekali dalam cakupan sektor maupun kedalaman penelaahannya. Sebelum Perang Dunia II, publikasi didominasi oleh ilmuwan Belanda. Namun dalam perkembangan kemudian ada seorang entomologiwan Indonesia yang pada tahun 1950-an mempertelakan serangga kakao (1950) dan penggerek polong Crotalaria (1958). Penelitian Sutardi ini masih terbatas pada segi terapan di bidang pertanian. Penelitian dasar dilakukan secara sporadis, tetapi pada umumnya oleh peneliti asing yang tinggal sementara di Indonesia. Tidak ada pola baik geografinya maupun kelompok serangga yang ditelitinya. Beberapa yang dilakukan adalah mengenai sistematika lebah madu, lalat dari Nusa Tenggara Timur, nyamuk dari berbagai pulau, dan sekelompok kumbang akuatik dari Flores. Dalam dasawarsa berikutnya, penelitian ditekankan pada segi taksonomi beberapa kelompok pilihan yang menjadi minat pribadi peneliti. Dalam kecamuk serangan hama wereng, dilaksanakan seminar khusus mengenai cara menanggulangi hama yang sangat ditakuti oleh petani dan pemerintah (Sadjad et al., 1977). Di sela-sela perhatian khusus pada wereng dilakukan pula penelitian terhadap pengorok daun palawija, penggerek batang padi, penggerek polong kakao, dan pemeliharaan beberapa parasit (van der Laan, 1981).
Di luar bidang pertanian, peningkatan kegiatan pun terjadi juga karena peningkatan jumlah tenaga pelaksana. Perhatian diberikan kepada bidang kehutanan, kesehatan, dan permukiman manusia. Entomologi dasar mulai bangkit. Makin bertambahnya jumlah entomologiwan dibuktikan oleh timbulnya kebutuhan untuk membuat wadah yang mempersatukan para entomologiwan, yaitu dengan didirikannya Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI), setelah melalui berbagai tahap perkembangan.
Adanya kegiatan yang meningkat terbukti pula dengan makin meningkatnya publikasi mengenai serangga. Pada Kongres Perhimpunan Entomologi I dan Simposium Entomologi pada tahun 1974, tercatat 83 makalah yang disajikan dalam simposium. Sudah menjadi kebiasaan bahwa simposium nasional entomologi menyertai kongres entomologi. Pada simposum berikutnya pada tahun 1983, jumlah ini menjadi lebih dari 200 makalah. Ruang lingkupnya pun menunjukkan perluasan. Lebih banyak kelompok serangga yang dibahas dengan mencakup lebih banyak aspek. Pada simposium ketiga pada tahun 1987, kualita menjadi dasar pertimbangan untuk disertakan dalam penyajian, sehingga jumlah makalah tidak menjadi sasaran dalam simposium, hanya sebanyak 65 artikel. Akan tetapi, untuk membuka peluang bagi entomologiwan muda, kongres keempat dengan simposiumnya pada tahun 1992 di Yogyakarta menerima sebanyak mungkin makalah. Mutu kurang diperhatikan, sehingga untuk dapat diterbitkan sebagai hasil penelitian banyak yang tidak memenuhi syarat. Dari lebih dari 300 makalah yang disajikan dalam Simposium, hanya dua yang layak terbit. Keadaan ini menjadi wigati para entomologiwan senior untuk pengembangan di masa mendatang.
Kemerosotan mutu entomologi di Indonesia tidak dapat dibendung, sehingga pada simposium entomologi yang mendampingi Kongres Entomologi V di Bandung pada tahun 1997, taraf mutu entomologi Indonesia mencapai lapisan yang paling bawah. Hanya segelintir makalah yang mempunyai nilai. Sisanya layak diisikan ke dalam keranjang sampah. Kecenderungan kemerosotan mutu entomologi ini menjadi keprihatinan para entomologiwan senior, sehingga tercetus gagasan untuk mengembalikan entomologi Indonesia ke taraf yang seharusnya, dengan fungsi dan peran, baik dalam menyediakan bahan (informasi dan pengetahuan) maupun dalam bentuk pelayanan. Upaya ini ditempuh dengan beberapa cara, di antaranya ialah diskusi, loka karya, seminar, dan pertemuan ilmiah lain.
Dari pertemuan ilmiah yang dilakukan di sela-sela simposium nasional, ternyata dirasakan adanya perhatian yang diberikan bukan saja kepada sektor pertanian (dalam arti sempit, pemberantasan hama padi), tetapi juga pada kehutanan, baik yang khusus maupun yang umum, kesehatan dan permukiman, serta sektor lain kehidupan, termasuk juga di dalamnya entomologi dasar. Dari pertemuan-pertemuan ilmiah entomologi ini, terasakan pula mulainya tumbuh entomologi selain pertanian (dalam skala sempit). Pada tahun 1977 mulailah tumbuh pula entomologi kehutanan dan entomologi yang berkaitan dengan pengaruh pestisida, serangga serta entomologi di luar pertanian. Aspek-aspek ini tumbuh terus dan lebih berkembang bersama perhatian terhadap segi-segi pengelolaan hama, yang pendekatannya tidak saja dari segi pemberantasannya secara langsung, tetapi juga dari disiplin lainnya. Perkembangan entomologi ini terus berlangsung hingga kini, melalui berbagai dorongan maupun rintangan.
Dilihat dari segi kuantitas pelaksananya, perkembangan entomologi di Indonesia menunjukkan titik-titik cerah. Peran serangga dalam ekosistem makin dirasakan, khususnya dalam penanganan hama pertanian, terutama padi, sehingga kebutuhan akan pelaksana dalam menangani serangga semakin terasa. Walaupun demikian, perhatian lebih besar masih harus diberikan kepada peningkatan kualitasnya. Keterbatasan pada cakupan yang ditangani dan pengembangan sumber daya manusianya masih belum mampu memperluas wawasan entomologi di Indonesia. Dorongan utama dalam perluasan wawasan ini dan untuk meningkatkan mutu pelaksana entomologi datang dari kesadaran makin dirasakan perlunya entomologi untuk berfungsi dan berperan dalam pembangunan berkelanjutan.
Pada era pembangunan pertanian di Indonesia berlangsung upaya pengembangan pengendalian hama terpadu (PHT). Konsep pengendalian ini mengharuskan dikenalnya berbagai kelompok serangga dan artropoda lain yang terlibat baik secara langsung maupun tak langsung dalam proses pengendalian. Pengenalan ini meliputi juga pengenalan terhadap peri laku, ciri, dan sifat-sifat lain yang dimiliki serangga dan artropoda, baik pengendalinya maupun yang dikendalikan. Kebutuhan ini memerlukan wawasan entomologi yang lebih luas daripada sekadar mengenal hama dan cara mematikannya. Akan tetapi, pengembangan wawasan ini pun masih belum menyentuh kebutuhan akan dikembangkannya entomologi secara mendasar.
Dalam awal tahun 1990 Perhimpunan Entomologi Indonesia mencoba mengangkat entomologi dasar ke permukaan. Tekad ini dicetuskan karena terasa makin terbenamnya entomologi dasar di Indonesia. Para entomologiwan senior menyadari makin memudarnya disiplin cabang-cabang entomologi dasar yang disebabkan oleh adanya desakan permintaan untuk menyelesaikan masalah entomologi yang sangat urgen. Maka berkembanglah suatu kecenderungan untuk mencari teknologi dan teknik yang tepat dan murah dalam waktu dekat. Kenyataan ini tercermin dari kebijakan penanggulangan hama, dengan jalan pintas menuju pemberantasan hama. Keadaan yang tidak menguntungkan bagi entomologi dasar ini diperberat dengan banyaknya masalah hama yang perlu segera diselesaikan. Dengan kondisi seperti ini tidak ada kesempatan untuk memperlajari secara mendasar sebab-sebab yang menimbulkan masalah. Akibat yang timbul dari pendekatan seperti ini ialah tidak pernah tercapainya taraf kemampuan untuk mengantisipasi masalah yang akan timbul dan mempersiapkan ilmu-ilmu dasar yang harus diramu untuk menghadapi datangnya masalah baru. Akibat lebih lanjut yang terjadi ialah penanganan masalah – hama dan lain-lain yang berkenaan dengan serangga – secara sekadar pelaksanaan tugas, yang tak berbeda dengan tugas pemadam kebakaran.
Keadaan memaksa untuk tidak menerapkan ilmu-ilmu dasar entomologi mengakibatkan tidak adanya kesadaran akan proses berkelanjutan dan jalinan aspek ilmu dasar :
1.      Kisaran ilmu dasar dan kisaran ilmu terapan entomologi akan membentuk kesinambungan. Dalam bidang entomologi pun, produk yang dihasilkan ilmu dasar akan menjadi dasar bagi ilmu yang menerapkannya. Produk yang dihasilkan oleh ilmu yang menerapkan ini akan menjadi dasar bagi ilmu lainnya yang akan menerapkannya lebih lanjut. Rangkaian ini berlangsung terus sebagai proses yang bersinambung.
2.      Ilmu dasar entomologi ialah sumber keberhasilan dan berfungsinya ilmu terapan.
3.       Sebaliknya, ilmu dasar entomologi dapat dikembangkan dari ilmu terapan.
4.      Tiadanya kesadaran ini melepaskan kebutuhan terhadap ilmu dasar entomologi dalam pelaksanaan pembangunan. Antara ilmu dasar dan pembangunan tidak terlihat jalinan yang eksplisit. Renggangnya jalinan ini diperbesar dengan kenyataan bahwa terhadap kerugian yang ditimbulkan dari tidak dikuasainya ilmu-ilmu dasar entomologi belum dilakukan perhitungan ekonomi, khususnya dalam bentuk rupiah.
Ramifikasi jalinan ilmu dasar dan ilmu terapan entomologi dan jalur panjang yang harus ditempuh sehingga ilmu dasar entomologi dapat menunjukkan kepentingannya membat ilmu dasar entomologi terasa kering dan tidak bermanfaat. Hasil yang segera dapat dirasakan tidak dapat segera dilihat. Akibat keadaan ini ialah dihindarinya pendalaman terhadap ilmu-ilmu dasar dalam entomologi – misalnya morfologi dan anatomi, histologi, fisiologi, genetika, dan taksonomi – di arena pendidikan, khususnya di perguruan tinggi. Ilmu dasar entomologi dianggap sebagai beban yang tidak menghasilkan buah. Merupakan kenyataan bahwa sampai kini, awal abad ke-21, sistem pendidikan di perguruan tinggi di Indonesia belum mendukung penempatan ilmu dasar, khususnya entomologi, pada perspektif yang sebenarnya.
Dicetuskannya Convention on Biological Diversity (CBD) dan beberapa keputusannya, mencanangkan perlunya dimanfaatkannya entomologi secara tepat guna. Dalam pertemuan para Pihak (peratifikasi CBD) – COP 3 di Buenos Aires, Argentina, dikeluarkan Decision III CBD yang mencakup pemanfaatan entomologi. Dengan tegas dinyatakan perlunya pelibatan penanganan terhadap keanekaragaman serangga, dalam aspek-aspeknya, untuk memanfaatkan keberadaannya. Beberapa aspek yang secara eksplisit disebutkan dalam isu untuk pengkajian khusus ialah serangga penyerbuk. Aspek-aspek yang disarankan untuk dikaji ialah (1) pemantauan terhadap hilangnya serangga penyerbuk pada skala dunia, (2) identifikasi penyebab khusus menurunnya serangga penyerbuk, (3) estimasi biaya ekonomi yang berkenaan dengan berkurangnya penyerbukan pada tanaman, dan (4) identifikasi dan dorongan terhadap penerapan praktek-praktek pelestarian untuk mempertahankan penyerbuk utama atau untuk mengembalikan keberadaannya.
Penerapan kajian tersebut telah pernah dicoba dengan perluasan cakupan, yang bertujuan untuk merintis kembali dan membina pengembangan ilmu-ilmu entomologi dasar di Indonesia. Telah ditempuh pendekatan terhadap isu-isu tematik, yang mencakup pemantauan status pengetahuan terhadap penanganan serangga hama dilihat dari segi-segi ilmu dasar yang telah diterapkan dalam upaya penanganan tersebut. Penelaahan yang sama juga dilakukan terhadap artropoda tanah (Suhardjono et al., 2001), ekosistem perairan, dan serangga penyerbuk sendiri. Telah terpolanya pemikiran dalam penanganan serangga hama sebagai inti dalam pengkajian terhadap entomologi, pengungkapan status pengetahuan mengenai serangga yang terlibat dalam segi pendekatan tersebut masih kurang dapat membawa kebanyakan entomologiwan Indonesia untuk memahami pentingnya ilmu dasar entomologi dalam memecahkan permasalahan entomologi.
Tingkat pemahaman seperti yang diuraikan di atas telah memperbesar rintangan dalam menghidupkan ilmu-ilmu dasar entomologi. Rintangan ini terwujud dalam bentuk penyederhanaan bahkan peniadaan pengajaran entomologi di perguruan tinggi, menjadi hanya sekadar pengenalan jenis, dan klasifikasi dalam invertebrata, bukan entomologi yang sebenarnya. Penyebabnya ialah tidak dipahaminya kaidah entomologi oleh pengajar/dosen entomologi. Para dosen ini pun mendapat pemahamannya dari pengajaran sebelumnya. Kurikulum mengenai entomologi di perguruan tinggi dan sekolah menengah menjadi tidak jelas, bukan mengajarkan entomologi tetapi lebih pada penghafalan spesies yang berkaitan dengan perannya sebagai hama dan musuh alami. Status entomologi seperti ini tidak dapat dibiarkan. Pengajaran entomologi harus dikembalikan pada pengajaran mengenai materi entomologi dalam pengertian yang benar.
Dari uraian di atas, tampak jelas corak entomologi secara menyeluruh dalam dimensi waktu. Walaupun demikian, dalam sektor-sektor lain perkembangan entomologi belum diungkapkan. Pada sektor-sektor kehutanan, peternakan, kesehatan, dan permukiman ada kemungkinan besar bahwa keadaannya tidak jauh berbeda, kalaupun ada perbedaannya. Pada kenyataannya, bahkan mungkin agak terabaikan. Kepincangan seperti ini dapat dimengerti karena jika dibandingkan dengan keadaan tanaman pangan, khususnya padi, komoditi di luar tanaman relatif tidak terlalu banyak dikerumuni serangga hama atau pengganggu. Bobot terberat masih pada penanganan hama padi. Entomologi sebagai ilmu masih memerlukan uluran tangan untuk dikembangkan menjadi ilmu yang benar-benar entomologi.
Lebih penting daripada penanganan terhadap kekurangan dalam sektor-sektor yang terabaikan itu ialah penanganan sektor pendidikan entomologi. Tidak jelas pula bagaimana pendidikan entomologi berkembang di Indonesia sesudah Perang Dunia II. Dalam kenyataannya kini pendidikan entomologi di kebanyakan perguruan tinggi terlalu bersifat pragmatis dan praktis. Pengetahuan dasar entomologi tidak pernah menjadi menu dalam mata kuliah entomologi. Segi-segi mendasar yang diperlukan untuk memahami kehidupan serangga kurang mendapat perhatian. Tidaklah mungkin dengan pendidikan entomologi seperti ini akan dapat dikembangkan entomologi Indonesia yang dapat secara kokoh menjadi tiang utama dengan landasan yang kokoh pula dalam menangani permasalahan yang ditimbulkan oleh serangga.
Perkembangan entomologi dan segi pendidikannya yang terjadi di Indonesia seperti yang diuraikan di atas tidak terlalu menyimpang dari jalur perkembangannya. Dari semula kaitan penelitian entomologi di Indonesia dengan pendidikan entomologi di Indonesia tidak terjalin secara tegas dan jelas. Sampai kini belum pernah dirumuskan entomologiwan yang bagaimana diperlukan untuk menangani masalah entomologi yang akan berkembang atau terproyeksikan di masa mendatang. Kebutuhan terhadap entomologiwan ini belum pernah dihitung, karena entomologi yang bagaimana yang dapat berfungsi dan berperan untuk menyongsong perkembangan permasalahan yang akan timbul pada masa mendatang pun belum juga diperhitungkan. Oleh karena itu, pemaduan program penelitian dengan program pendidikan entomologi di Indonesia masih mempunyai peluang besar untuk dikembangkan. Entomologi yang telah berkembang di Indonesia sampai saat ini belum mempunyai bentuk yang mantap. Perkembangannya masih terbatasi penggunaan secara pragmatis, yaitu pada penanggulangan hama pertanian, terutama komoditi industri dan ekspor. Walaupun di sektor ini entomologi telah lebih berkembang daripada di sektor lain, perkembangan ini masih belum terlepas dari hambatan, karena justru aspek entomologi yang menjadi landasan perkembangan dalam penanggulangan hama itu sendiri belum dikembangkan dengan semestinya.
Secara konseptual belum ada kemantapan arah perkembangan entomologi di Indonesia, bahkan pemikiran pengembangannya pun belum tumbuh. Dalam keadaan seperti ini sukarlah menempatkan entomologi di Indonesia menjadi ilmu yang memimpin, apalagi sebagai entomologi yang dapat mengantisipasi. Pedoman utama yang akan dapat mengarahkan pengembangannya ialah sektor dalam kehidupan manusia Indonesia. Dengan meramalkan perkembangan ini, program entomologi di masing-masing sektor dapat direncanakan, dan pengembangannya dapat dipastikan.
Aspek entomologi secara umum telah menduduki tempat utama dalam permasalahan pada lingkungan manusia. Peran ini ditunjukkan secara langsung dalam sektor-sektor pertanian, kehutanan, kesehatan, dan lingkungan permukiman. Alasan kepentingannya ditimbulkan oleh adanya hubungan langsung antara serangga dan manusia. Hubungan ini akan selalu ada dan berkembang, selama manusia masih mengembangkan kebudayaannya melalui empat sektor tersebut. Perkembangan hubungan ini menuntut dikembangkan-nya entomologi yang tepat guna, yang di masing-masing sektor harus diperhitungkan. Perkembangan pada keempat sektor tersebut harus dipantau secara terus-menerus, sehingga program yang diperlukan dalam setiap sektor dapat diketahui, dan entomologi yang mendasarinya dapat diantisipasi.
Berdasarkan laju pertumbuhan penduduk di Indonesia, keempat sektor tersebut akan berkembang secara pesat pula. Produksi pertanian harus ditingkatkan, baik dalam volume maupun dalam mutu, sumber daya hutan harus dimanfaatkan secara berkelanjutan, pelayanan kesehatan harus diper-baiki, permukiman harus diperluas, dan lingkungan harus ditata sedemikian rupa sehingga serasi dan layak untuk kehidupan manusia. Peningkatan kegiatan dalam keempat sektor tersebut akan menuntut pendayagunaan entomologi untuk mengatasi masalah yang timbul.
D.    Entomologi Dalam Sektor Pertanian
Kegiatan entomologi mempunyai dua segi, pertama sebagai penunjang (promotor) meningkatnya produksi, dan kedua sebagai pelaku produksi itu sendiri. Aspek penunjang meningkatnya produksi memerlukan berperannya entomologi dalam komponen-komponen yang berupa kemampuan tanah untuk pertanian, proteksi terhadap penghasil dan produk pertanian serta peri laku penyerbukan. Dalam aspek peri laku produksi, entomologi terkait dengan komponen berupa penghasil pangan (Adisoemarto, 1993a), pakan dan bahan untuk keperluan lain.
Komponen kemampuan tanah memerlukan keikutsertaan entomologi dalam dua peran, yaitu untuk menggarap serangga sebagai indikator dan serangga sebagai promotor. Dalam perkembangan penggunaan tanah pertanian, perhatian harus mulai diberikan pula kepada tanah atau lahan pertanian kering dan lahan pekarangan. Pada masa mendatang, kedua tipe lahan ini akan memainkan peran penting dalam memenuhi kebutuhan manusia. Sebagai indikator kemampuan tanah, entomologi diperlukan untuk menentukan interelasi dan interdependensi antara tanah dan fauna serangga penghuni tanah yang bersangkutan (Suhardjono et al., 2001). Hubungan taraf kegunaan masing-masing tipe tanah berdasarkan tipe fauna serangga yang menghuninya dapat diketahui.
Peran sebagai indikator ini sangat penting dalam menentukan vegetasi yang paling cocok untuk bentuk atau tipe tanah yang tersedia. Ketentuan ini sangat diperlukan pada masa-masa mendatang, mengingat kecenderungan perkembangan sistem pertanian pada masa mendatang, yang teknologinya dikembangkan menuju peningkatan efisiensi penggunaan pupuk buatan. Sebagai promotor, peran serangga perombak yang mempercepat perputaran hara serta menentukan kesuburan tanah akan sangat diharapkan. Untuk pelaksanaannya diperlukan pengetahuan mengenai entomologi perombakan yang dapat memaksimalkan efisiensi kehadiran serangga dalam komponen ini.
Peran entomologi dalam komponen proteksi penghasil dan hasil pertanian sudah berjalan sejak timbulnya kebudayaan manusia. Dengan kebudayaannya, manusia membudidayakan tanaman, yang selanjutnya berasosiasi dengan serangga hama dan penyebar penyakit. Dua pihak yang sebetulnya terlibat dalam komponen ini, yaitu negasi atau anihilasi (pengurangan atau peng-hapusan) dan maksimasi atau optimasi, seharusnya mendapat keikutsertaan entomologi secara seimbang. Peran entomologi di Indonesia kini masih banyak dilakukan terhadap kegiatan negasi atau anihilasi. Hampir seluruh kekuatan diarahkan untuk menghapuskan serangga hama secara nir-alami, yaitu dengan penggunaan bahan kimia buatan.
Melihat gejala perkembangan sistem pertanian serta teknologi pertanian secara menyeluruh, yang akan mempromosikan ekosistem seimbang, pilihan perhatian entomologi harus diarahkan kepada kegiatan optimasi. Kecen-derungan perubahan peran insektisida dalam proteksi tanaman dari pemeran utama menjadi hanya salah satu komponen integrasi merupakan salah satu gejala ke arah optimasi ini. Kecenderungan ini sudah beberapa kali diungkapkan. Kegiatan optimasi ini akan memerlukan keikutsertaan entomologi yang menyangkut berbagai aspek dan disiplin ilmu-ilmu pertanian dan ilmu lainnya yang menunjang. Entomologi akan sangat diperlukan dalam menentukan keseimbangan atau optimasi masing-masing unsur dalam sistem pertanian yang dianut sehingga proteksi terhadap penghasil produk tercapai secara maksimal.
Entomologi lingkungan sangat pelik, karena di sini bukan saja serangga yang diperhatikan, tetapi juga lingkungan dan faktor-faktor yang menentukan kehidupan serangga (Adisoemarto et al., 1997). Walaupun demikian, entomologi lingkungan ini memegang peran terpenting dalam proteksi penghasil produk. Lagipula, entomologi lingkungan akan selalu diperlukan untuk jangka waktu yang sangat panjang, mengingat kecenderungan penyediaan dan penggunaan bahan kimia untuk penanganan hama di masa mendatang. Walaupun seandainya bahan kimia masih terpaksa menduduki peran teratas dalam penanganan hama, entomologi akan tetap memegang kedudukan penting pula, karena hampir semua hama berupa serangga dan toksikologi memerlukan entomologi. Oleh karena itu, entomologi lingkungan akan sangat diperlukan dalam konstelasi pertanian dipandang dari segi proteksi penghasil produk. Dalam masa mendatang, dekat maupun jauh, penganekaragaman hasil pertanian di Indonesia akan merupakan keharusan. Pertanian tidak hanya akan dipusatkan pada padi, tetapi juga tanaman pertanian yang lain, hewan, dan bahkan serangga sendiri. Untuk perlindungan komponen-komponen ini, entomologi tidak dapat ditinggalkan begitu saja.
Dalam kebanyakan kejadian, tanaman dan tumbuhan lain memerlukan serangga untuk dapat memenuhi fungsinya, yaitu menghasilkan buah dan biji untuk dapat berkembang biak. Selain untuk perkembangbiakan tanaman, pembentukan buah dan biji juga diperlukan manusia untuk menunjang kehidupannya. Berkaitan dengan serangga dalam penyerbukan, entomologi juga tidak dapat ditinggalkan (Adisoemarto, 1993b; Sastrodihardjo, 2001). Pendayagunaan serangga penyerbuk secara maksimum untuk meningkatkan produk pertanian belum secara bersungguh-sungguh dipikirkan di Indonesia. Mekanisme pendayagunaannya belum pernah dirumuskan secara pasti dan tepat, sehingga bidang ini masih merupakan terra incognita. Potensi serangga penyerbuk ini belum diperhitungkan di dalam usaha peningkatan hasil pertanian. Perkembangan keperluan terhadap serangga penyerbuk untuk masa mendatang dan selanjutnya akan menuntut entomologi yang dapat menangani pendayagunaan serangga sebagai jasad penyerbukan serta memaksimasi daya gunanya. Dari mulai sekarang harus sudah dipersiapkan rencana dan pelaksanaan penanganannya.
Karena serangga mempunyai peran dalam menyediakan dirinya untuk dijadikan sumber penghasil bahan, baik pangan dan pakan maupun bahan lainnya, pengetahuan tentang kehidupan serangga harus dipahami betul, yang akan memerlukan entomologi. Pengetahuan mengenai peri kehidupan yang mengarah kepada usaha pemeliharaan dan pembudidayaan akan sangat diperlukan. Dalam masa mendatang, jalur entomologi yang sifatnya setaraf peternakan akan diharapkan sekali keikutsertaannya. Entomologi dalam komponen ini harus dikembangkan secara mendalam dan meluas, termasuk terhadap kelompok yang kini masih pada taraf non-konvensional. Entomologi dasar akan amat sangat diperlukan. Ribuan, ratusan ribu jenis serangga menanti untuk dijamah.



MORFOLOGI SERANGGA
A.    Anatomi Luar (Integumen)
Integumen terdiri dari tiga lapisan utama, yaitu :
1.      Lapisan dasar (basement membrane) dengan ketebalan kurang lebih ½ m.
2.      Epidermis atau hipodermis yang mempunyai ketebalan satu sel.
3.      Lapisan kutikula yang tebalnya kurang lebih 1m.
Kutikula terdiri dari sel-sel mati yang dibentuk oleh sel hidup di bawahnya yaitu epikutikula, dan terdiri dari prokutikula dan epikutikula. Prokutikula terdiri dari lapisan yang lebih tebal dibandingkan epikutikula. Prokutikula terdiri dari lapisan endokutikula dan eksokutikula. Epikutikula merupakan lapisan tipis yang biasanya terdiri dari :
a.       Lapisan dalam disebut lapisan kutikulin (lipoprotein).
b.       Lapisan luar disebut lapisan lilin yang sulit ditembus air.
Bagian yang mengeras dari kutikula terutama terdapat pada lapisan eksokutikula, disebabkan oleh adanya sklerotin sebagai hasil dari proses pengerasan yang disebut dengan sklerotisasi. Kutikula relatif permiabel bila keadaannya tipis, maka dapat dilalui oleh air dan gas.
Pada kutikula sering dijumpai :
a.       sulkus, yaitu lekukan pada kutikula bagian luar
b.      sutura, yaitu garis persatuan antara dua sklerit yang terpisah
c.       apodema atau apofisis, yaitu penonjolan bagian dalam kutikula
Secara garis besar bagian tubuh serangga terdiri dari kepala, thoraks, dan abdomen.
1.      Morfologi Kepala
Kepala merupakan bagian depan dari tubuh serangga dan berfungsi untuk pengumpulan makanan dan manipulasi, penerima rangsang dan otak (perpaduan syaraf). Struktur kerangka kepala yang mengalami sklerotisasi disebut sklerit. Sklerit-sklerit ini dipisahkan satu sama lain oleh sutura yang tampak sebagai alur Kutikula pada kepala mengalami penonjolan ke arah dalam, membentuk rangka kepala bagian dalam yang disebut tentorium.
Terdapat tiga tipe kepala berdasarkan posisi alat mulut, yaitu :
a.       Prognatous (menghadap ke depan), contoh : Sithopillus oryzae (Coleoptera, Curculionidae)
b.      Hypognatous (menghadap ke bawah), contoh : Valanga nigricornis (Orthoptera, Acrididae)
c.       Ophistognatous (menghadap ke bawah dan belakang), contoh : Leptocorisa acuta (Hemiptera, Alydidae)     
Pada kepala terdapat dua organ penerima rangsang yang tampak jelas yaitu mata tunggal dan antena. 
1.      Mata
Terdiri dari dua jenis : mata majemuk dan tunggal.
IMG0473A.jpg
Gambar 1. Struktur Mata Majemuk pada serangga
IMG0478A.jpg
Gambar 2. Struktur Mata Tunggal pada serangga
2.      Antena
Sepasang antena terdapat pada salah satu ruas kepala di atas mulut yang dapat digerak-gerakkan. Antena merupakan alat penting yang berfungsi sebagai alat perasa dan alat pencium. Ruas pertama antena yang disebut skapus melekat pada kepala. Ruas kedua disebut pedisel dan ruas-ruas berikutnya secara keseluruhan disebut flagelum. Bentuk dan ukuran antena serangga sangat beragam.
IMG0481A.jpg
Gambar 3. Variasi bentuk antenna seranga
 Berdasarkan bentuknya antena serangga dapat dibedakan menjadi 14 tipe yaitu :
1.      Filiform : menyerupai tambang, tiap-tiap segmen yang membentuk antena ukurannya sama, misalnya antena pada Valanga sp. (Orthoptera).
2.      Moniliform : seperti manik-manik, ruas-ruas antena berukuran sama dan berbentuk bulat, misalnya Rhysodidae.
3.      Setaseous : seperti rambut kaku (Seta), makin ke ujung ruas-ruas antena maakin ramping, misalnya Isoptera.
4.      Clavate : seperti moniliform tapi agak membesar kebagian ujungnya, misalnya Coccinellidae.
5.      Capitate : seperti clavate tetapi perbesaran ruas-ruas terakhir tiba-tiba membesar, misalnya Nitidulidae.
6.      Serate : tiap-tiap segmennya berbentuk seperti gigi, misalnya Elateridae.
7.      Geniculate : segmen pertama berukuran panjang diikuti oleh satu segmen yang lebih kecil yang membentuk sudut dengan segmen pertama, misalnya Formicidae.
8.      Pectinate : setiap segmen memanjang ke arah samping seperti sisir, misalnya Pyrochoroidae.
9.      Bipectinate : setiap segmen memiliki satu pasang rambut.
10.  Stylate : segmen terakhir runcing dan agak panjang, misalnya Asilidae.
11.  Aristate : seakan-akan dari segmen antena keluar lagi antena, misalnya Muscidae.
12.  Plumose : setiap segmen berambut lebat dan panjang, misalnya nyamuk jantan.
13.  Lamellate : segmen paling ujung membesar dan menjadi lempengan, misalnya Scarabaidae.
14.  Flabellate : semua segmen setelah pedicel bentuknya seperti lempengan, misalnya Rhipiceridae
3.      Alat Mulut
Secara umum alat-alat mulut serangga terdiri dari :
1.      Labrum (bibir atas)
2.      Sepasang mandibel (geraham pertama)
3.      Sepasang maksila (geraham kedua)
4.      Labium (bibir bawah)
5.      Epifaring (lidah)
Bagian–bagian mulut serangga dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe umum, mandibulata (pengunyah) dan haustelata (penghisap).
1.      Tipe alat mulut pengunyah, mandibel bergerak secara transversal yaitu dari sisi ke sisi, dan serangga tersebut biasanya mampu menggigit dan mengunyah makanannya. 
2.      Tipe mulut penghisap memiliki bagian-bagian dengan bentuk seperti probosis yang memanjang atau paruh dan melalui alat itu makanan cair dihisap. Mandibel pada bagian mulut penghisap mungkin memanjang dan berbentuk stilet atau tidak ada. 
Beberapa tipe alat mulut serangga yaitu :
1.      Tipe alat mulut menggigit mengunyah.
a.       Labrum, berfungsi untuk memasukkan makanan ke dalam rongga mulut.
b.      Epifaring, berfungsi sebagai pengecap.
c.       Mandibel, berfungsi untuk mengunyah, memotong, atau melunakkan makanan.
d.      Maksila, merupakan alat bantu untuk mengambil makanan. Maxila memiliki empat cabang, yaitu kardo, palpus, laksinia, dan galea.
e.       Hipofaring, serupa dengan lidah dan tumbuh dari dasar rongga mulut.
f.       Labium, sebagai bibir bawah bersama bibir atas berfungsi untuk menutup atau membuka mulut. Labium terbagi menjadi tiga bagian, yaitu mentum, submentum, dan ligula. Ligula terdiri dari sepasang glosa dan sepasang paraglosa.
Contoh serangga dengan tipe alat mulut menggigit mengunyah yaitu ordo Coleoptera, Orthoptera, Isoptera, dan Lepidoptera.
2.      Tipe alat mulut mengunyah dan menghisap
Tipe alat mulut ini diwakili oleh tipe alat mulut lebah madu Apis cerana (Hymenoptera, Apidae) merupakan tipe kombinasi yang struktur labrum dan mandibelnya serupa dengan tipe alat mulut menggigit mengunyah, tapi maksila dan labiumnya memanjang dan menyatu. Glosa merupakan bagian dari labium yang berbentuk memanjang sedangkan ujungnya menyerupai lidah yang berbulu disebut flabelum yang dapat bergerak menyusup dan menarik untuk mencapai cairan nektar yang ada di dalam bunga.
3.      Tipe alat mulut menjilat mengisap.
Tipe alat mulut ini misalnya pada alat mulut lalat (Diptera). Pada bagian bawah kepala terdapat labium yang bentuknya berubah menjadi tabung yang bercelah. Ruas pangkal tabung disebut rostrum dan ruas bawahnya disebut haustelum. Ujung dari labium ini berbentuk khusus yang berfungsi sebagai pengisap, disebut labellum.
4.      Tipe Alat Mulut Mengisap.
Tipe alat mulut ini biasanya terdapat pada ngengat dan kupu-kupu dewasa (Lepidoptera) dan merupakan tipe yang khusus, yaitu labrum yang sangat kecil, dan maksila palpusnya berkembang tidak sempurna. Labium mempunyai palpus labial yang berambut lebat dan memiliki tiga segmen. Bagian alat mulut ini yang dianggap penting dalam tipe alat mulut ini adalah probosis yang dibentuk oleh maksila dan galea menjadi suatu tabung yang sangat memanjang dan menggulung
5.      Tipe Alat Mulut Menusuk Mengisap
Kepik, mempunyai alat mulut menusuk mengisap, misalnya Scotinophara (Heteroptera).  Alat mulut yang paling menonjol adalah labium, yang berfungsi menjadi selongsong stilet. Ada empat stilet yang sangat runcing yang berfungsi sebagai alat penusuk dan mengisap cairan tanaman.  Keempat stilet berasal dari sepasang maksila dan mandibel ini merupakan suatu perubahan bentuk dari alat mulut serangga pengunyah.
2.      Morfologi Torak dan Abdomen
Bagian dari tubuh serangga antara kepala dan abdomen adalah thoraks terdiri dari tiga segmen atau ruas yaitu protoraks, mesotoraks, dan metatoraks. Ketiga bagian toraks tersebut memiliki sepasang tungkai, sedangkan mesothoraks dan metatoraks masing-masing memiliki sepasang sayap. Pada setiap sisi  mesotoraks dan metathoraks terdapat sebuah spirakel.
Protoraks, mesotoraks dan metatoraks masing-masing bagian atasnya terdiri dari notum dan bagian bawahnya disebut sternum. Notum untuk prothoraks disebut pronotum, dan notum untuk mesothoraks dan metathoraks masing-masing disebut mesonotum dan metanotum. Pronotum terbagi lagi atas preskutum, skutum, skutelum dan postkutelum, mesonotum dan metanotum masing-masing terbagi atas epimeron dan episternum.
1.      Sayap 
Serangga dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok berdasarkan kepemilikan sayap, yaitu kelompok serangga bersayap (Pterygota) dan kelompok serangga tidak bersayap (Apterygota). Sayap merupakan tonjolan integumen dari bagian mesopleuron dan metapleuron. Sayap diperkuat oleh satu deretan rangka-rangka sayap yang bersklerotisasi, yang mengandung syaraf, trakea, dan hemolimf. Permukaan atas dan bawah sayap terbuat dari bahan kitin tipis. Bagian tertentu dari sayap tampak seperti garis-garis tebal yang disebut pembuluh sayap.  Bagian sayap yang dikelilingi oleh pembuluh sayap disebut sel.
2.      Tungkai-Tungkai Thoraks
Tungkai serangga terdapat pada prototaks, mesatoraks dan metatoraks yang masing-masing disebut tungkai depan, tungkai tengah dan tungkai belakang. Tungkai serangga terdiri dari enam ruas yang terdiri dari :
a.       Koksa, yang merupakan bagian yang melekat langsung pada thoraks
b.      Trokanter, bagian kedua dari ruas tungkai berukuran lebih pendek dari pada koksa dan sebagian bersatu dengan ruas ketiga
c.       Femur, merupakan ruas yang terbesar
d.      Tibia, ukurannya lebih ramping tetapi hampir sama panjang dengan femur pada bagian ujung tibia biasanya terdapat duri-duri atau taji.
e.       Tarsus, terdiri dari 1-5 ruas
f.       Pretarsus, ruas terakhir dari tungkai, terdiri dari sepasang kuku tarsus dan diantaranya terdapat struktur seperti bantalan yang disebut arolium.
Beberapa tipe tungkai serangga tersusun sebagai berikut :
a.        Saltatorial : Tungkai belakang belalalng yang digunakan untuk meloncat, dengan bentuk femur tungkai belakang lebih besar bila dibandingkan dengan femur tungkai depan dan tungkai tengah.  Contoh : Valanga nigricornis (belalang)
b.        Raptorial : Tungkai depan digunakan untuk menangkap dan memegang mangsa, sehingga ukurannya lebih besar bila dibandingkan dengan tungkai yang lainnya. Contoh : Stagmomantis carolina (belalang sembah)
c.        Kursorial : Tungkai ini digunakan untuk berjalan cepat atau berlari. Contoh : Periplaneta australasiae (kecoa)
d.       Fosorial :  Tungkai depan berubah bentuk sebagai alat penggali tanah.  Contoh : Gryllotalpa africana (orong-orong)
e.        Natatorial : Tungkai jenis ini terdapat pada serangga air yang berfungsi untuk berenang.  Contoh : Hydrophilus triangularis (kumbang air)
f.         Korbikulum : Tungkai tipe ini berfungsi untuk mengumpulkan tepung sari.  Contoh : Apis cerana (lebah madu)



B.     Aatomi Dalam Dan Fungsi
1.      Sistem Pencernaan
a.       Saluran Pencernaan
Saluran makanan serangga terdiri dari tiga bagian dengan katup-katup (sphincters, volves).Bagian terdepan disebut stomodeum atau usus depan (foregut), usus tengah (midgut), dan usus belakang (kindgut). Seluruh saluran makanan di bagian dalamnya dilapisi selapis sel epitel, berkedudukan pada membran dasar. Stomodeum dan proktodeum mempunyai lapisan kutikula sedang mesentron tidak.
b.      Stomodeum
Pada dasarnya stomodeum terbagi menjadi bagian-bagian sebagai berikut, dari depan: faring (pharynx), oesofagus (oesophagus) dan tembolok (crop) yang merupakan tempat penyimpanan makanan. Pada serangga yang memakan makanan padat kerapkali ada organ penghalus (grinding organ) disebut proventrikulus (proventriculus atau gizzard). Proventrikulus itu khususnya berkembang baik pada serangga Ordo Orthoptera, misalnya belalang, lipas, cengkerik, dan rayap.
c.       Mesenteron
Secara umum mesenteron terdiri dari dua bagian, yaitu dari depan kantung gastrik (gastric caeca) dan ventrikulus (ventriculus). Mikrovili adalah tonjolan-tonjolan halus berbentuk jari-jari. Mikrovili itu memperluas permukaan sel-sel epitel yang berhubungan dengan makanan, untuk memfasilitasi penyerapan nutrisi. Di ventrikulus, pada sebagian besar jenis serangga, terdapat membran peritrofik yang memisahkan epitel dan makanan. Membran peritrofik melindungi sel-sel epitel terhadap kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh abrasi atau gesekan bahan makanan.
d.      Proktodeum
Bagian awal (terdepan) proktodeum ditandai oleh tempat kedudukan tabung-tabung Malpighi, kerapkali pada pilorus yang merupakan katup otot. Bagian selanjutnya secara berurutan adalah ileum, kolon (colon) dan rektum (rectum). Di ujung rektum terdapat anus (lubang pelepasan). Fungsi utama proktodeum adalah absorpsi air, garam-garam dan bahan-bahan lain yang berguna.
Pencernaan sebagian besar terjadi di mesenteron, yang sel-sel epitelnya memproduksi dan mensekresi ensim-ensim pencernaan dan juga menyerap hasil pencernaan itu.  Makanan serangga terutama terdiri dari polimer karbohidrat dan protein. Beberapa enzim yang umum ditemukan adalah protease, lipase dan karbohidrase, tetapi kadang-kadang ada yang tidak umum, misalnya selulase yang terdapat pada serangga penggerek kayu.  Rayap bersimbiosis dengan protozoa (flagellata) untuk mencerna selulosa yang dimakannya. Ada juga jenis-jenis serangga yang mampu mencerna bahan-bahan yang relatif stabil seperti keratin yang merupakan bahan pembentuk rambut dan bulu, misalnya jenis-jenis kumbang Dermestidae.  Ulat Galleria mellonella (waxmoth) memakan dan mencerna lilin lebah.  Ulat ini dapat menjadi hama pada peternakan lebah madu. Mikroba di dalam saluran makanan mungkin juga memberikan tambahan nutrisi yang diperlukan, misalnya vitamin dan sterol.
Nutrisi untuk keperluan seluruh hidup serangga kerapkali dipenuhi pada waktu serangga berada pada tahap pradewasa, karena imagonya kerapkali tidak makan, atau hanya makan untuk mendapatkan air dan bahan untuk energi. Hal ini misalnya terjadi pada banyak jenis Lepidoptera (kupu-kupu dan ngengat) dan jenis-jenis Hymenoptera terutama kelompok parasitoid. Sebagai nutrisinya serangga umumnya memerlukan asam amino, karbohidrat, lipida, vitamin, mineral, puru dan piridin (bahan inti sel) dan air. Air didapatkan dari air yang terkandung dalam makanannya (tumbuhan khususnya mengandung banyak air). Serangga yang memakan bahan yang relatif kering, misalnya jenis-jenis serangga gudang, sebagian air didapat dari air hasil metabolisme.
2.      Sistem Pernafasan
Serangga mempunyai sistem tabung dalam atau sistem trakea, yang mengantarkan udara dari luar tubuh ke sel-sel tubuh dan sistem itu melaksanakan respirasi atau pernafasan. Trakea mengelompok-kelompok pada tiap ruas, dan mendapatkan udara dari luar melalui sepasang bukaan pada sisi lateral tiap ruas; bukaan ini disebut spirakel (spiracles). Spirakel berhubungan langsung dengan batang trakea utama (main tracheal trunk), yang biasanya ada sepasang menjulur sepanjang tubuh. Pada tiap ruas, dari batang trakea itu muncul beberapa trakea cabang, berpasangan dari batang kiri dan kanan. Umumnya ada tiga trakea cabang yang muncul, yaitu :
a.        cabang dorsal yang melayani pembuluh dorsal dan otot-otot dorsal
b.      cabang ventral atau cabang viseral (visceral) yang melayani saluran makanan dan organ reproduksi
c.       cabang ventral yang melayani otot-otot ventral dan tali saraf.
Tabung-tabung halus pada ujung-ujung trakea berukuran kapiler dan disebut trakeol, biasanya berdiameter 1m atau kurang. Trakeol itu berada di antara atau sekitar sel-sel jaringan tubuh, dan merupakan bagian trakea yang fungsional dari sistem trakea. Pada banyak serangga penerbang cepat sistem trakeanya mempunyai kantung-kantung udara (air sacs); yang kerapkali adalah pelebaran dari batang trakea. Kantung udara itu berfungsi sebagai kantung penyimpan udara/oksigen.  Pada sistem tertutup, spirakel-spirakel itu tidak berfungsi atau tidak ada sama sekali. Pada umumnya, pada sistem trakea tertutup ini, peran spirakel diganti oleh sistem jaringan trakeol yang terdapat di bawah kulit atau di dalam organ khusus yaitu insang.
Semua binatang memerlukan pembekalan energi dan umumnya mendapatkan energi melalui proses respirasi (pernafasan). Respirasi terdiri dari pengambilan, transportasi dan penggunaan oksigen oleh jaringan-jaringan dan pelepasan dan pembuangan limbah, terutama dioksida dan lingkungannya disebut respirasi luar (eksternal), sedang pertukaran gas di dalam sel disebut respirasi dalam (internal) atau metabolisme respirasi. Respirasi luar pada hampir semua serangga dilaksanakan oleh sistem trakea.  Melalui sistem ini udara/oksigen dari luar diantarkan ke jaringan dan sel-sel yang memerlukan. Pada serangga ukuran besar yang aktif, untuk melancarkan proses pernapasan itu dibantu sedikit-banyak oleh ventilasi mekanis dari trakea abdomen dan kantung-kantung udara yang dihasilkan oleh gerakan-gerakan ritmik tubuh.  Proses ini disebut ventilasi aktif. Analisis menunjukkan bahwa seperempat dari jumlah CO2 yang terjadi karena respirasi lepas keluar melalui permukaan tubuh. Hal ini karena gas CO2 dapat berdifusi melalui jaringan binatang 35x lebih cepat daripada oksigen. Di depan juga telah disebut bahwa pada serangga air terdapat insang.  Respirasi dilakukan melalui alat ini: oksigen dalam air berdifusi melalui kulit insang yang tipis dan masuk ke sistem trakea sedangkan CO2 melalui difusi terlepas dari tubuh serangga melarut dalam air. 
3.      Sistem Peredaran Darah
Sistem peredaran darah terdiri dari darah atau hemolimf dan organ-organ yang memfasilitasi sirkulasi atau peredaran darah. Pada serangga tidak demikian; pada sebagian besar lintasannya hemolimf mengalir melalui rongga tubuh, menggenangi organ-organ dan jaringan. Sistem ini disebut sistem terbuka.
Peredaran darah pada serangga diatur oleh sistem pompa otot-otot melalui rongga-rongga dalam tubuh yang dipisahkan oleh septa. Pada sebagian besar serangga, hemosel terbagi menjadi beberapa rongga (sinus) oleh septa atau diafragma. Aorta adalah tabung ramping yang mengantarkan darah ke kepala, bermuara di belakang atau di bawah otak. Organ denyut juga ditemui di toraks, yang memelihara peredaran darah di pembuluh sayap. Dari uraian di atas peredaran darah pada serangga secara umum dapat disimpulkan sebagai berikut : Hemolimf dari abdomen dipompa oleh jantung ke aorta kemudian ke kepala kemudian ke jaringan-jaringan lalu ke abdomen, dan siklus dimulai lagi.
a.       Hemolimf
Hemolimf adalah cairan bening, tidak berwarna atau kunig-pucat atau hijau pucat dan biru karena mengandung pigmen. Pada beberapa serangga akuatik pradewasa dan larva lalat parasit dalam (endoparasitik), berwarna merah karena adanya hemoglobin. Pada nimfa dan imago hemolimf itu biasanya kurang dari 20% berat badannya. pH hemolimf adalah 6-7 pada umumnya tetapi ada yang sampai pH 7-7.5.  Hemolimf serangga dicirikan oleh konsentrasi yang tinggi dari fosfat organik dan asam-asam amino. Kandungan dan komposisi kimiawi itu bervariasi tergantung dari jenis, umur, keadaan fisiologi, kelamin (seks), makanan dan sebagainya. Sel-sel hemolimf atau hemosit (haemocytes) ada beberapa tipe (terutama plasmatosit, cystocyt dan sel granular), semuanya mempunyai empat fungsi inti, yaitu :
1.             fagositosis, “memakan” partikel-partikel dan bahan, misalnya metabolit.
2.             pengkapsulan (encapsulation), “membungkus” parasit dan bahan asing yang berukuran relatif besar.
3.             koagulasi hemolimf.
4.             penyimpanan dan distribusi nutrisi.
Dua tipe sel lain yang terdapat di dalam hemosel : Nefrosit (nephrocytes), yang berfungsi sebagai kelenjar tanpa saluran yang menjaring hemolimf dari bahan-bahan tertentu dan dimetabolisme untuk dimanfaatkan atau dibuang di tempat lain. Yang kedua, oenosit (oenocytes), fungsinya tidak jelas, tetapi kelihatannya berperan dalam sintesis parafin kutikula.
Fungsi dari Hemolomf, yaitu :
1.      Sebagai pelumas (lubricant):  melancarkan gerakan antar organ
2.      Sebagai medium hidraulik:  pada proses ganti kulit; pada proses imago lalat keluar dari puparium dengan dorongan ptilinum; penjuluran embelan, misalnya pada proses perentangan sayap waktu imago keluar dari pupa.
3.       Transportasi nutrisi dan bahan limbah:  nutrisi diserap oleh darah dari sistem pencernaan dan diantarkan ke jaringan- jaringan yang memerlukan.  Limbah metabolisme diangkut dari jaringan-jaringan oleh darah ke organ-organ ekskretori.  Selain itu hormon-hormon dibawa oleh darah ke tempat-tempat hormon itu bekerja.
4.      Organ perlindungan dalam fagositosis, pengkapsulan (encapsulasi), detoksifikasi bahan beracun, misalnya insektisida, hemostasis, yaitu penghentian perdarahan melalui koagulasi dan presipitasi plasma, penyembuhan luka, perlindungan non-seluler.
5.      Transfer panas. Mentransfer panas dari satu bagian tubuh ke bagian lain.
4.      Sistem Ekskresi
Fungsi sistem ekskretori adalah pemeliharaan keseimbangan lingkungan dalam (internal). Karena hemolimf menggenangi jaringan dan organ serangga, maka cairan itu menentukan sebagian besar keadaan lingkungan dalam (internal). Sistem ekskretori bertanggung jawab terhadap pemeliharaan uniformitas hemolimf. Untuk melaksanakan fungsi ini sistem itu membuang limbah metabolisme dan bahan-bahan yang berlebihan, terutama yang mengandung nitrogen, serta mengatur kendungan garam dan air. Organ ekskretori yang utama adalah Tabung Malpighi; jaringan-jaringan lain diperkirakan mempunyai peran bantuan (subsidiary role).
a.       Tabung Malpighi
Letak organ ini di dalam tubuh serangga telah disebut di depan, yaitu pada saluran makanan di awal proktodeum. Penemunya bernama Marcello Malpighi, seorang ilmuwan Itali yang hidup di abad ke-7. Jumlah tabung organ ini beragam tergantung jenis serangganya, antara dua sampai lebih dari 250 dan umumnya berbelit (convoluted); jumlah tabung itu selalu kelipatan dua (berarti berpasangan). Jenis-jenis Collembola dan kutudaun (Aphididae, Homoptera) tidak mempunyai tabung Malpighi. Tabung-tabung itu bebas berada di rongga tubuh digenangi oleh hemolimf. 
Keadaan lingkungan yang berbeda memberikan masalah berbeda yang berkaitan dengan garam dan air dalam tubuh serangga. Tergantung dari lingkungannya (basah, air, kering) dan makanannya (banyak mengandung air, kering) pengaturan air tubuh dan garam-garam dapat berbeda.  Pada serangga darat (terjadi kehilangan air tubuh melalui penguapan dari permukaan tubuh dan pembuangan feses, justru serangga harus membuang kelebihan air yang terserap melalui kulitnya dan dari makanannya, sekaligus harus menjaga supaya garam-garam tidak ikut terbuang. Pada sebagian besar serangga pengaturan keseimbangan lingkungan internal, setidak-tidaknya sebagian, dilaksanakan oleh tabung Malpighi dan rektum.
Ada beberapa sistem perputaran (cycling sistem) bahan yang menyangkut tabung Malpighi dan rectum, yaitu :
1.          Tipe sederhana:  tabung hanya berdinding selapis sel yang berisi cairan.  Cairan ini mengalir ke proktodeum bercampur dengan isi saluran pencernaan.  Setelah campuran itu sampai di rektum, air dan garam-garam yang masih diperlukan diserap kembali dan masuk ke hemolimf.  Tipe ini terdapat pada jenis-jenis Orthoptera.
2.          Tipe yang lebih kompleks:  pada tipe ini gerakan bahan masuk ke dalam tabung Malpighi terjadi di bagian distal tabung; penyerapan kembali air dan garam yang masih diperlukan terjadi di daerah proksimal tabung dan di rektum.  Tipe ini terdapat pada jenis-jenis Hemiptera.
3.          Tipe ketiga: khas terdapat pada kumbang, yaitu bagian distal tabung-tabung Malpighi terbenam dalam jaringan yang mengelilingi rektum.  Penyerapan bahan terjadi di bagian tabung yang bebas sedang penyerapan kembali bahan yang masih diperlukan terjadi di bagian tabung yang terbenam dalam jaringan rektum.  Pengaturan model ini disebut sebagai pengaturan kripto nefridial (crypto nephridial).  Pengaturan model ini juga terdapat di ordo Lepidoptera, dengan perbedaan bahwa penyerapan kembali bahan selain di rektum juga terjadi di bagian proksimal tabung-tabung.
b.      Ekskresi Nitrogen
Banyak serangga predator, pengisap darah dan bahkan pemakan tumbuhan mendapatkan nitrogen berlebihan dari yang diperlukan, berasal dari protein, asam amino dan asam nukleat. Asam urat adalah limbah nitrogen utama dan merupakan 80% atau lebih limbah nitrogen serangga darat khususnya. Untuk pembuangannya tidak memerlukan banyak air, sehingga cocok untuk serangga darat. Amoniak (NH4) adalah limbah nitrogen utama serangga air dan lalat hijau (Calliphoridae). Bentuk limbah nitrogen lain pada serangga adalah alantoin, asam alantoik dan urea. Tabung Malpighi adalah organ utama yang berperan dalam pembuangan (ekresi) limbah nitrogen, namun jaringan lain sedikit-banyak berperan juga, tergantung dari jenis serangganya. Serangga juga membuang limbah nitrogen dalam bentuk urin. Sifat, komposisi, dan bentuknyanya sangat beragam. Ada yang berbentuk powder yang terdapat pada serangga darat yang hidup di lingkungan kering, dan yang berbentuk cairan bening pada serangga air.



REPRODUKSI DAN PERTUMBUHAN
1.      Sistem Reproduksi
Sebagian besar serangga membiak secara seksual, bagian yang lain secara aseksual atau partenogenetik. Sistem reproduksi jantan berfungsi memproduksi dan menyampaikan atau mengantarkan spermatozo. Sedangkan sistem reproduksi betina berfungsi memproduksi dan menyimpan telur, menyimpan spermatozoa, sebagai tempat pembuahan, dan meletakkan telur atau melahirkan larva atau nimfa.
a.      Sistem Reproduksi Jantan.
Sistem reproduksi jantan terdapat di bagian belakang abdomen, terdiri dari dari sepasang gonad yang disebut sebagai testes (ganda; testis = tunggal), yang dihubungkan oleh tabung-tabung yang bermuara dalam aedeagus atau penis. Pada dasarnya sistem ini sama pada semua serangga, meskipun bervariasi menurut jenisnya. Testis ada sepasang (dua), bilateral, namun ada yang menyatu (fusi) di tengah (misal pada Lepidoptera). Tiap testis terdiri dari sejumlah folikel, terbungkus oleh jaringan alat (connective tissue). Tiap folikel terbungkus oleh selapis sel-sel epitel. Spermatogenesis atau produksi spermatozoa terjadi di dalam folikel, oleh sel-sel lembaga (germ cells) melalui pembagian sel meiosis. Tiap folikel dari ujung sampai pangkalnya dapat dibagi dalam beberapa zona yang menunjukkan fase-fase spermatogenesis :
1.      Bagian paling ujung adalah germarium atau zona spermatogenia terdiri dari sel-sel lembaga atau spermatogenia.
2.      Zona pertumbuhan atau zona spermatosit : pada bagian ini spermatogenia membagi secara mitosis beberapa kali membentuk spermatosit primer berkelompok-kelompok terbungkus oleh sel-sel somatik.
3.      Zona reduksi dan  pematangan : di bagian ini spermatosit primer (2n) mengalami meiosis (2n ® 1n) menjadi sel-sel haploid, menghasilkan spermatosit sekunder.  Spermatosit sekunder ini kemudian menjadi spermatik.
4.      Zona terakhir (pangkal folikel) adalah zona transformasi : di sini spermatid berkembang menjadi spermatozoa.
IMG0470A.jpg
Gambar 4. Alat reproduksi serangga jantan
b.      Sistem Reproduksi Betina
Sistem reproduksi betina terdiri dari sepasang gonand atau ovari (ovary), yang dihubungkan oleh tabung-tabung ke vagina yang mempunyai bukaan di luar. Ovari memproduksi telur dan terdiri dari beberapa sampai banyak ovariol, yang merupakan unit yang fungsional. Pada ujung ovari terdapat benang terminal (terminal filament) yang merupakan kumpulan dari benang-benang ovariol. Pada dasar ovariol ada saluran pendek-kecil disebut pedisel (pedicel).  Tiap ovariol dari ovari (satu ovari) bermura di kaliks (calyx) dan kaliks berhubungan dengan saluran telur lateral (lateral duct).  Dua saluran telur lateral, masing-masing dari ovari kiri dan kanan, bertemu menyatu di saluran telur bersama (common oviduct). Saluran telur bersama berhubungan dengan bursa kopulatriks (bursa copulatrix) atau vagina yang mempunyai bukaan di luar. Spermateka (spermatheca) atau kantung sperma umumnya tidak berpasangan, bermuara di vagina atau saluran telur bersama. Kelenjar penyerta dapat berpasangan atau hanya satu juga bermuara di vagina atau di saluran telur bersama. Umumnya memproduksi bahan likat untuk menempelkan telur pada substrat atau bahan pembungkus telur-telur menjadi paket telur, misalnya ooteka belalang sembah (Mantidae), belalang lapangan (Acrididae) dan lipas (Blattidae).
Oogenis merupakan pembentukan telur terjadi di dalam ovariol. Proses oogenesis ini dapat terselesaikan sebelum atau sesudah serangga menjadi imago. Germarium terdapat di ujung ovariol dan vitelarium di pangkalnya. Germarium mengandung sel-sel lembaga disebut oogonia yang membagi diri secara mitosis  dan menjadi oosit nantinya. Tiap oosit yang sedang berkembang diselubungi oleh sel epitel folikel; oosit dan lapisan sel epitel itu adalah folikel. Jika sel telur telah matang maka telur itu bergerak ke luar dari ovariol; proses ini disebut ovulasi. Sel-sel epitel tertinggal di dalam ovariol dan akhirnya hancur.
IMG0471A.jpg
Gambar 5. Alat reproduksi serangga batina
2.      Telur dan Pembuahan
Telur yang matang diletakkan, dan bentuknya beragam mulai dari yang pipih, bulat telur (oval), seperti tong sampai bulat. Sebagian besar telur bagian terbesar telur terisi oleh kuning telur (yolk) atau deutoplasma (deutoplasm), sitoplasma dan inti hanya menempati bagian kecil dari telur. Kuning telur mengandung karbohidrat, protein dan lipida. Protein adalah bagian yang terbanyak.  Sitoplasma terdapat di sekitar inti (sitoplasma inti) dan sekitar tepi kuning telur (periplasma atau sitoplasma korteks = cortical cytoplasm).  Telur dapat terbungkus oleh dua membran: membran vitelin yang merupakan membran sel telur dan korion (chorion) atau kulit telur. Korion berfungsi seperti kutikula pada serangga betinanya, melindungi terhadap gangguan fisik, terhadap penguapan air, dan juga untuk ventilasi (pernapasan) telur. Telur-telur jenis serangga tertentu yang diletakkan di tempat lembab dapat menyerap air dari lingkungannya. Spermatozoa dapat masuk ke dalam telur melalui satu atau lebih saluran khusus disebut mikropil, yang merupakan perforasi, pada korion yang terdapat di bagian tertentu dari telur. Pembuahan telur terjadi setelah ovulasi, dimulai dengan transfer sperma dari serangga jantan ke serangga betina di dalam sistem reproduksinya pada waktu kopulasi. Sperma yang ditransfer itu bebas atau dalam spermatofor. Spermatofor biasanya diletakkan dalam bursa kopulatriks atau vagina, jarang  di dalam spermateka. Spermatozoa, apapun kondisinya waktu ditransfer ke serangga betina akhirnya berkumpul di spermateka.  Proses pembuahan adalah sebagai berikut:
1.      pelepasan sejumlah spermatozoa dari spermateka.
2.       masuknya spematozoa ke dalam telur melalui mikropil (micropyle).
3.       fusi pronuklei telur dan spermatozoa menjadi zigot.
3.      Penentuan Kelamin dan Pembiakan Partenogenetik
Hampir semua serangga adalah biseksual: organ reproduksi atau organ seks jantan dan betina masing-masing terdapat pada individu yang berbeda. Berbagai spesies serangga dari kelompok berbeda (misalnya famili Aphididae (Hemiptera) dan famili-famili dari subordo Apocrita (Hymenoptera)) dapat berbiak partenogenetik (tanpa ada pembuahan telur).  Ada juga serangga hermafrodit (hermaphrodite), yaitu organ jantan dan betina terdapat pada satu individu.  Kutu putih Icerya purchasi dan beberapa jenis kerabatnya adalah jenis-jenis yang sudah dipastikan hermafrodit. Penentuan kelamin (seks) pada serangga seksual tergantung dari keseimbangan antara gen-gen sifat jantan dan gen-gen sifat betina.  Pada sebagian besar kelompok serangga jantan adalah heterogamet dan betina homogamet.
4.      Embriogenesis (Perkembangan Embrio)
Embriogenesis mencakup perkembangan sejak terjadinya zigot dan keluarnya individu yang sudah berkembang penuh dari telur. Proses individu keluar dari telur ini disebut penetasan atau eklosi (eclosion).  Morfogenesis adalah perkembangan sejak terjadi zigot sampai menjadi serangga dewasa. Embriogenesis antara kelompok-kelompok serangga beragam, ulasan umumnya dapat disajikan sebagai berikut.
Lapisan sel pertama yang terbentuk adalah blastoderm, yang terdiri dari lapis tunggal sel-sel, yaitu blastomer. Proses terbentuknya blastomer berbeda pada satu jenis binatang dengan jenis yang lainnya, hal ini berhubungan dengan banyaknya bahan kuning telur di dalam telur.  Namun pada sebagian besar serangga, telurnya mempunyai bahan kuning telur yang banyak.  Pada kebanyakan serangga nukleus yang berfungsi dengan sitoplasmanya, berperilaku seperti individu sel dan membelah diri (cleavage) secara mitosis.  Nukleus-nukleus baru yang terjadi bergerak ke daerah tepi telur dan membentuk blastoderm. Selama proses itu berlangsung, tiap nukleus membentuk sel lengkap dengan selaput selnya.
Sel-sel hasil pembelahan di atas sebagian tetap di bagian kuning telur, atau sebagian yang sudah di tepi kembali ke kuning telur; sel-sel ini disebut vitofag (vitellophages) atau sel-sel kuning telur (yolk cells).  Vetelofag ini berperan dalam pencernaan awal kuning telur, sehingga memudahkan pengasimilasian oleh sel-sel embrio lain.
Pada waktu bersamaan terjadinya blastoderm, beberapa sel hasil pembelahan berubah menjadi sel-sel lembaga yang nantinya berkembang menjadi gamet atau sel-sel reproduktif pada tahap larva tua, pupa atau dewasa.
Setelah pembentukan blastoderm selesai, sel-sel pada satu sisi telur berubah bentuk menjadi kolumnar (columnar) (artinya seperti tiang besar) sepanjang garis tengah-longitodinal telur, ke arah dua sisi dari garis ini sel-sel itu secara berurutan kurang kolumnar, akhirnya bersatu dengan sel-sel blastoderm yang tersisa, yang cenderung menjadi pipih (sequamous).  Daerah yang menebal dari blastoderm terdiri dari sel-sel kolumnar itu adalah pita lembaga (germ band), yang kemudian memanjang dan berkembang menjadi embrio.  Sel-sel lain ikut dalam pembentukan selaput atau membran ekstraembrio.  Pada sebagian besar serangga lipatan pada daerah di luar pita lembaga tumbuh ke arah atas pita lembaga, nantinya bertemu sepanjang garis tengah longitudinal.  Lapis luar dan dalam dari satu lipatan bersatu dengan lapis yang sama dan lipatan lainnya.  Lipatan dalam membentuk amnion (amnion) di sekeliling embrio yang berkembang dan lapis luar membentuk serosa yang mengelilingi kuning telur, ammon dan embrio.  Pada beberapa serangga selaput ekstraembrio terbentuk dari invaginasi (Apterigota) atau involusi embrio (Odonata, beberapa Orthoptera dan Homoptera).
Pada waktu pembentukan ammnion dan serosa, terjadi juga proses gastrulasi, yang dimulai dengan invaginasi (melekuk ke dalam) bagian bawah (venter) pita lembaga.  Nantinya invaginasi itu mendatar ke arah keluar dan pinggir-pinggir luarnya bertemu dan bersatu membentuk pita longitudinal dari sel-sel (lapis dalam atau mesentoderm) yang dikelilingi oleh lapis luar, disebut ektoderm.  Tipe lain pembentukan lapisan dalam ialah mengendapnya pita longitudinal bawah ke dalam kuning telur, yang kemudian tertumbuhi oleh sel-sel pita lembaga yang tertinggal.  Tipe yang lain lagi, lapisan dalam itu berkembang dari proliferasi pita lembaga.  Kemudian lapisan dalam berkembang menjadi dua pita longitudinal lateral (mesoderm) dan untingan tengah (median strands) dengan massa sel pada ujung anterior dan posterior.  Untingan tengah bagian massa sel di kedua ujungnya akan menjadi endorm.
Pada tahap perkembangan ini -yaitu mulai adanya mesoderm dan endorm -terjadi alur-alur melintang sehingga embrio terbagi-bagi menjadi satu seri ruas-ruas, 20 jumlahnya.  Segmentasi atau peruasan ini adalah proses bertahap (gradual), mulai dari bagian depan dan berlanjut ke belakang.  Pada saat yang sama terjadi juga evaginasi ektoderm, yang membentuk berbagai embelan (appendages) tubuh.  Apabila segementasi embrio itu telah sempurna dan semua dasar-awal (rudiments) dari embelan telah terbentuk, bagian-bagian embrio yang akan membentuk ketiga tagmata tubuh serangga sudah dapat terlihat.  Setelah pembentukan tiga lapis lembaga (germ layers) (endorm, mesoderm, ektoderm), masing-masing berkembang lebih lanjut yang nantinya membentuk Otot-otot, jantung dan aorta (pembuluh dorsal, jaringan lunak dan organ reproduksi berasal dari perkembangan mesoderm.  Mesenteron adalah endodermal, sedang stomodeum dan proktodeum ektodermal, otak, sistem saraf, sistem trakea dan integumen juga ektodermal. berbagai jaringan dan organ-organ.  Proses ini disebut organogenesis.
5.      Strategi Reproduksi
Perkembangan embrio pada serangga dapat dikelompokkan dalam tiga tipe utama, yaitu :
1.      Ovivar
Serangga betina meletakkan telur yang telah matang baik dibuahi maupun tidak. Perkembangan embrio terjadi diluar tubuh induknya dan embrio memperoleh makanan dari kuning telur. Kebanyakan serangga memiliki perkembangan ovipar.
2.      Vivivar
Pada perkembangan vivipar serangga betina tidak meletakkan telur tapi melahirkan larva atau nimfa muda dalam bentuk individu yang tidak terbungkus kulit telur (korion) . Perkembangan embrio berlangsung dalam tubuh induknya dan embrio memperoleh makanan langsung dari tubuh induknya.
3.      Ovovivivar
Telur mengandung cukup kuning telur untuk memberi makan embrio yang sedang berkembang dan diletakkan oleh induknya segera setelah menetas. Istilah ovovivipar juga digunakan untuk serangga-serangga yang meletakkan telur yang mengandung embrio yang telah berkembang (telur telah siap menetas).
Istilah larvipar, nimfipar dan pupipar, menunjuk pada bentuk individu baru yang dilepas oleh induknya.  Lalat Tachinidae ada yang larvipar, kutudaun di daerah panas adalah nimfipar, sedang lalat tse-tse (Glossina spp., Muscidae) adalah pupipar.  Pada lalat tse-tse ini keturunan baru dilahirkan dalam fase larva yang sudah siap berpupa, sehingga hanya dalam beberapa jam setelah dilepas oleh induknya sudah menjadi pupa.
Selain ketiga tipe utama di atas, serangga juga memiliki beberapa tipe perkembangan embrio yang lain, yaitu :
1.      Poliembrioni
Pada poliembrioni setiap telur yang sedang berkembang dapat membelah secara mitosis dan menjadi beberapa sampai banyak embrio. Tipe perkembangan ini biasanya terdapat pada Hymenoptera.
Telur pada serangga polimbrioni berbeda dari serangga non-poliembrioni, sebagai berikut: telurnya sangat kecil,  tidak ada kuning telur, karion jika ada sangat tipis dan permeabel.
2.      Paedogenesis
Serangga pradewasa memiliki alat kelamin yang telah matang dan dapat menghasilkan keturunan. Beberapa jenis Coleoptera memiliki perkembangan paedogenesis.
3.      Parthenogenesis
Sel telur berkembang menjadi embrio tanpa mengalami pembuahan. Partenogenesis dapat terjadi pada serangga ovipar maupun vivipar.
6.      Peletakan Telur dan Eklosi
Peletakan telur (oviposition) terjadi setelah telur matang dan terjadi ovulasi.  Telur umumnya diletakkan di tempat-tempat yang sesuai untuk kehidupan keturunan.  Telur dapat diletakkan dalam kelompok atau satu-satu, tergantung spesiesnya.  Organ atau struktur untuk peletakan telur dapat terdiri dari embelan-embelan khusus yang membentuk alat peletak telur atau ovipositor, atau abdomen dimodifikasi demikian rupa sehingga dapat dijulurkan seperti tabung sehingga berfungsi sebagai ovipositor.  Struktur ini umum disebut ovitubus dan dapat ditemui pada trips (Thysanoptera), lalat (Diptera) dan lainnya.  Ovipositor itu tereduksi atau tidak ada pada ordo-ordo berikut: Odonata, Plecoptera, Mellophaga, Anoplura, Ceoleoptera dan ordo-ordo panorpoid (Mecoptera).
Telur diletakkan secara beragam, beberapa serangga menyatukan telurnya secara pasif, misalnya pada Plasmida (walkingstick), yang lain menempelkan telur pada substratnya satu-satu atau dalam kelompok.  Jenis-jenis Vrysopidae (Neuroptera) meletakkan telur dengan tungkai yang kaku yang panjang; telur terdapat di ujung tangkai.  Berbagai jenis serangga (belalang lapangan, belalang sembah, lipas) meletakkan telur dalam paket, disebut ooteka atau paket telur; dalam satu paket terdapat banyak telur.  Bahan untuk melekatkan telur atau untuk pembuatan paket berasal dari kelenjar penyerta (accessory glands).
Serangga parasitoid menggunakan ovipositornya untuk "menyuntikkan" telurnya dalam tubuh inangnya, pada serangga akuatik telurnya diliputi oleh bahan gelatin.  Serangga-serangga yang memarasit mamalia kerapkali meletakkan telur pada rambut-rambut inangya.
Eklosi (eclosion) adalah proses penetasan atau keluar dari telur; kadang-kadang diartikan sebagai munculnya imago dari fase pradewasa. Eklosi umumnya melibatkan penegukan (swallowing) cairan amnion dan difusi udara ke dalam telur.  Masalah pada eklosi adalah peretakan korion dan lapisan embrio lain serta melepaskan diri dari telur. Retakan dapat terjadi pada permukaan telur secara tidak teratur atau pada garis yang lemah.  Pada beberapa serangga pelemahan lapisan embrio terjadi karena kerja ensim.  Berbagai struktur mungkin terlibat dalam meretakkan korion, yang dapat berbentuk duri (spines) atau pundi-pundi (bladder) yang eversibel (eversible) atau melibatkan kekuatan ekspansi dari bagian tubuh, karena kontraksi, yang dibantu oleh penegukan cairan amnion dan udara (lihat di atas). Beberapa serangga seperti pada Lepidoptera larva menggerigit kulit telur untuk keluar.
7.      Perkembangan Serangga (Pascaembrio)
Perkembangan pascaembrio adalah perkembangan sejak eklosi sampai munculnya serangga dewasa. Serangga mempunyai kerangka luar yang tidak memungkinkan pertumbuhan memperbesar tubuh (ukuran tubuh).  Masalah ini diatasi dengan proses ganti kulit (molting) atau ekdisis. Serangga pradewasa yang baru keluar dari telur berkembang melalui satu seri pergantian kulit, dan bertambah ukurannya setelah tiap ganti kulit.  Tiap tahap perkembangan disebut instar. 
Instar akhir, yang serangga itu sudah matang secara seksual dan bersayap sempurna (pada jenis-jenis yang memang bersayap), adalah tahap dewasa atau imago. Beberapa serangga (misalnya Thysanura) masih berganti kulit setelah tahap dewasa, namun tidak bertambah besar. Banyaknya instar beragam di antara kelompok-kelompok serangga, namun sebagian besar antara 2 dan 20. Pertambahan bobot serangga yang baru keluar telur sampai menjadi dewasa biasanya sungguh nyata.  Sebagai contoh, larva instar akhir Cossus cossus (Lepidoptera: Cossidae) bobotnya 72.000 x dari instar pertamanya, dan memerlukan tiga tahun untuk mencapai instar akhir itu (C. cossus adalah penggerek kayu). Pada kebanyakan yang lain biasanya sekitar 1.000 x atau lebih.
Proses perkembangan yang mengubah pradewasa instar pertama menjadi dewasa disebut metamorfosis (metamorphosis), yang arti sebenarnya adalah perubahan bentuk. Perubahan bentuk itu bisa berangsur-angsur (gradual), yaitu bentuk pradewasa secara umum hampir sama dengan bentuk dewasanya, atau tiba-tiba (abrupt), yaitu bentuk pradewasanya sangat berbeda dengan dewasanya dan perubahan ini terjadi pada instar akhir pradewasa.
Metamorfosis (perubahan bentuk) dikelompokkan dalam empat tipe, yaitu:
1.       Tanpa metamorfosis/ametamorfosis (ametabola)
Pada tipe ini beberapa spesies serangga tidak memperlihatkan adanya metamorfosis, maksudnya segera setelah menetas maka lahir serangga muda yang mirip dengan induknya kecuali ukurannya yang masih kecil dan perbedaan pada kematangan alat kelaminnya. Kemudian setelah tumbuh membesar dan mengalami pergantian kulit, baru menjadi serangga dewasa (imago) tanpa terjadi perubahan bentuk hanya mengalami pertambahan besar ukurannya saja. Serangga pra dewasa sering disebut dengan istilah gaead. Tipe metamorfosis ini terdapat pada serangga dari ordo Collembola, ordo Thysanura, dan ordo Protura
2.      Metamorfosis Bertahap (Paurometabola)
Serangga yang mengalami perubahan bentuk secara paurometabola selama siklus hidupnya mengalami tiga stadia pertumbuhan, yaitu stadia telur, nimfa dan imago. Serangga pradewasa disebut nimfa. Nimfa dan imago memiliki tipe alat mulut dan jenis makanan yang sama, bentuk nimfa menyerupai induknya hanya ukurannya lebih kecil, belum bersayap, dan belum memiliki alat kelamin. Serangga pradewasa mengalami beberapa kali pergantian kulit, diikuti pertumbuhan tubuh dan sayap secara bertahap. Serangga yang termasuk dalam tipe ini yaitu ordo Orthoptera, Hemiptera,  dan Homoptera.
3.      Metamorfosis Tidak Sempurna (Hemimetabola)
Hemimetabola memiliki cara hidup yang hampir sama dengan paurometabola, hanya habitat dari serangga pradewasanya berbeda dengan imagonya. Stadia dalam perkembangan hidupnya terdiri dari telur, naiad, dan imago. Serangga pradewasa disebut dengan istilah naiad. Naiad hidup di air, dan mempunyai alat bernafas semacam insang sedangkan habitat imago habitatnya di darat atau di udara. Serangga yang memiliki perkembangan hemimetabola adalah ordo Odonata (Capung).

4.      Metamorfosis Sempurna (Holometabola)
Pada tipe ini serangga memiliki empat stadia selama siklus hidupnya, yaitu telur, larva (ulat), pupa (kepompong), dan imago. Serangga pradewasa disebut larva, dan memiliki habitat yang berbeda dengan imagonya. Larva merupakan fase yang aktif makan, sedangkan pupa merupakan bentuk peralihan yang dicirikan dengan terjadinya perombakan dan penyususunan kembali alat-alat tubuh bagian dalam dan luar. Serangga yang memiliki perkembangan holometabola yaitu ordo Lepidoptera, ordo Coleoptera, ordo Hymenoptera.
Lalat rumah adalah holometabolous, dengan metamorfosis lengkap.
8.      Kontrol Hormonal dalam Pertumbuhan dan Perkembangan
1.      Ganti kulit
Untuk tumbuh dan berkembang menjadi besar maka tubuh serangga mengalami proses ganti kulit. Pengelupasan kulit luar terjadi terlebih dahulu kemudian diganti oleh kulit yang baru. Proses ini disebut dengan pergantian kulit (ekdisis) dan kulit lama yang terlepas disebut eksuvia (exuviae). Proses pergantian kulit ini terjadi dengan terbentuknya lapisan endokutikula baru yang berada di bawah lapisan eksokutikula yang sudah mengeras. Sebelum kulit luar atau kutikula yang lama mengelupas, epikutikula dan prokutikula yang baru telah dipersiapkan oleh sel-sel hipodermis (sel-sel epidermis) yang ada dibawahnya, kemudian sel-sel hipodermis mengeluarkan cairan hormon untuk melancarkan proses pergantian kulit.Proses membesarnya tubuh serangga sampai ukuran tertentu terjadi sebelum dinding tubuh atau kutikula baru mengalami proses pengerasan (sklerotisasi). Serangga ketika pertama kali muncul dari kutikula lamanya akan berwarna pucat, dan kutikulanya lunak. Dalam waktu satu atau dua jam, eksokutikula mulai mengeras dan berwarna gelap.  Kebanyakan seranggga mengalami empat sampai delapan kali ganti kulit.
2.      Metamorfosis
Dalam pertumbuhan dan perkembangannya, serangga berganti bentuk selama perkembangan pasca-embrio, dan instar-instar yang berbeda tidak semuanya serupa. Perubahan ini disebut metamorfosis. Perubahan selama metamorfosis dilaksanakan oleh dua proses, histolisis dan histogenesis. Histolisis adalah suatu proses di mana struktur-struktur larva terpecah hancur menjadi bahan yang dapat digunakan dalam perkembangan struktur-struktur dewasa. Histogenesis adalah proses perkembangan struktur-struktur dewasa dari produk-produk histolisis. Sumber-sumber utama dari bahan untuk histogenesis adalah hemolimf, lemak badan, dan jaringan-jaringan larut seperti urat-urat daging larva.
      Metamorphosis serangga dikontrol oleh 3 hormon, yaitu :
1.      PTTH (hormon protorasikotropik)
PTTH diproduksi oleh sel-sel neurosekretorik di dalam otak dan merangsang kelenjar-kelenjar protoraks untuk menghasilkan ekdison, yang merangsang apolisis dan mendorong pertumbuhan.
2.      ekdison
3.      JH (hormon juvenile
 JH dihasilkan oleh sel-sel di dalam korpora allata dan menghambat metamorfosis, jadi mendorong perkembangan lebih lanjut larva atau nimfa. Korpora allata aktif selama instar-instar awal dan biasanya berhenti menyekresi JH dalam instar pradewasa terakhir. Ketiadaan hormon dalam instar ini mengakibatkan metamorfosis.



FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN SERANGGA
A.    Faktor Dalam
Faktor dalam yang mempengaruhi tinggi rendahnya populasi hama, antara lain :
1.      Kemampuan berkembang biak
2.      Perbandingan kelamin
3.      Sifat mempertahankan diri
B.     Faktor Luar
1.      Faktor fisik
a.       Suhu dan kisaran suhu
b.      Kelembaban/Hujan
c.       Cahaya/warna/bau
d.      Angin
2.      Faktor makanan
3.      Faktor hayati
a.       Predator
b.      Parasitoid
c.       Pathogen
d.      Kompetisi



PENGENDALIAN SERANGAN HAMA
A.    Pengendalian Dengan Undang-Undang
Salah satu usaha mencegah pemasukan, penyebaran, dan meluasnyaorganisme penggangu tanaman berbahaya dari satu daerah kedaerah lain adalah dengan peraturan atau tindakan karantina. Tindakan karantina adalah tindakan dari pemerintah untuk mencegah masuknya atau tersebarnya organisme pengganggu tanaman berbahaya dengan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Contoh peraturan perundang-undangan tersebut adala undang-undang No. 2 Taun 1961 tentang pengeluaran dan pemasukan Tanaman dan Bibit Tanaman, yang merpakan landasan hokum pelaksanaan perkaratinaan tanaman di Indonesia. Undang-undang tersebut bertujuan untuk mencegah masuknya atau meluasnya hama dan penyakit yang telah diketahui atau mencegah hama dan penyakit baru kedalam suatu daerah. Conth lain dari pengendalian denganperatuan adalah sertifikasi benih dan bibit.
B.     Pengendalian Dengan Kultur Teknis
Pengendalian ini adalah pengendalian serangan hama dengan memodifikasi kegiatan pertanian tertentu agar lingkungan pertanian menjadi tidak mengguntungkan bagi perkembangan serangga hama, tetapi tidak mengganggu persyaratan pertumbuhan tanaman.sebelum melakukan pengendalian ini, sebelumnya kita harus mengetahui cara hidup serangga hama yang akan dikendalikan.
Pada prinsipnya usaha yang dilakukan pada penggendalian ini adalah semua cara penggendalian dengan memanfaatkan lingkungan guna menekan populasi serangga hama. Usaha-usaha tersebut mencakup pengolahan tanah dan pengairan, pergiliran tanaman, tumpang sari, pemupukan yang optimum, penanaman tanaman perangkap, pengaturan pola tanam, pengaturan waktu tanam, saitasi, penggunaan mulsa, dan penggunaan varietas lahan.
C.    Penggendalian Secara Fisik
Pengendalian ini dilakukan dengan tujuan secara langsung da tidak langsung untuk membinasakan serangga hama sasaran. Pengendalian ini aman bagi lingkungan dan kompatibel dengan teknik pengendalian lainnya, seperti kultur teknik, hayati dan varietas lahan.
D.    Pengendalian Secara Hayati
Penggendalian ini adalah penggendalian serangga hama dengan cara biologi yaitu dengan memanfaatkan musuh-musuh alaminya. Seperti predator, parasit dan pathogen. Pengendalian ini dapat jua dikatakan sebagai pengaturan populasi organism dengan musuh-musuh alam hingga kepadatan populasi organism tersebut berada dibawah rata-ratanya dibandingkan bila tanpa pengendalian.
E.     Pengendalian Secara Kimiawi
Pengendalian ini adalah penggendalian serangga hama dengan menggunakan banhan kimia beracun. Bahan kimia ini diberikan langsungketanaman makanan hama, umapan, atau dikenakan langsung kepada serangga hama sasaran. Bahan kimia yang biasa digunakan adalah Insekisida.
F.     Penggendalian ama Terpadu
Penggendalian ini adalah penggendalian serangga hama terapan yang memadukan atau mengkombinasikan pengendalian hayati dan kimiawi. Penggunaan pestisida hanya dilakukan apabila populasi hama meningkat dan berada diatas ambang ekonomi. Dan andaikata populasi berada dibawah ambang ekonomi maka tidak perlu dilakukan enggendalian secara kimiawi, karena pada saat itu penggendalian hama mampu dilakukan oleh kompleks musuh alami seperti predator, parasitoid, dan pathogen.



KLASIFIKASI SERANGGA
Contoh klasifikasi serangga:
Kerajaan - Hewan      
Filum - Arthropoda    
Kelas - Hexapoda (= serangga)          
Order - Lepidoptera (= kupu-kupu dan ngengat)      
Keluarga - Noctuidae (= noctuids)    
Genus - Helicoverpa  
Spesies - Helicoverpa armigera (= Hubner Amerika)

A.    Karakteristik kelas Hexapoda (Serangga)
Beberapa karakteristik serangga adalah:
1.      Body: Tubuh terbagi menjadi tiga wilayah yang berbeda: kepala, dada dan perut
2.      Sepasang antenna : antena yang biasanya digunakan sebagai organ taktil (= organ yang berkaitan dengan rasa sentuh) atau sebagai organ penciuman (= organ penciuman).
3.      Mata: Kebanyakan serangga memiliki sepasang mata majemuk dan terkadang beberapa mata sederhana yang disebut "ocelli".
4.      Mulut : Ada berbagai jenis besar di mulut, menggigit, mengisap, menyengat, menjilati, dll
5.      Thorax: Tiga pasang kakinya. dada ini memiliki tiga segmen. Ini disebut pro-dada, meso-dada dan meta-thorax. Setiap segmen memiliki sepasang kaki tibia. berbeda Bagian dari kaki disebut coxa, trokanter, femur, dan Tarsus.
Catatan:
beberapa serangga yang berkaki, atau memiliki kurang dari 6 kakinya. Beberapa larva memiliki-seperti pelengkap kaki pada perut. Seringkali satu atau dua pasang sayap. Sayap ditanggung oleh kedua dan / atau ketiga dari segmen dada.
Beberapa serangga yang tak bersayap.
6.      Abdomen : The gonopore (pembukaan kelamin) adalah pada bagian belakang perut. Tidak pelengkap digunakan untuk bergerak di perut orang dewasa (kecuali di beberapa serangga primitif). Terkadang ada beberapa pelengkap pada akhir perut.
B.     Klasifikasi Hexapoda (Serangga)
Kelas hexapoda dibagi dalam dua subclass:
1.      Apterygota (= serangga bersayap primitif)
2.      Pterygota (= bersayap dan serangga bersayap yang kedua)
Kelas  Pterygota dibagi dalam dua divisi:
1.      Exopterygota (= serangga dengan metamorfosis sederhana, tanpa stadium pupa)
2.      Endopterygota (= dengan metamorfosis lengkap, termasuk tahap pupa)



MENGIDENTIFIKASI SERANGGA
Ketika mencoba untuk mengidentifikasi serangga tidak diketahui pertama Anda akan selalu mencoba untuk menentukan Orde benar nya. Hal ini dapat dilakukan dengan bantuan sebuah tombol. Anda akan membutuhkan lensa tangan yang baik untuk mengamati beberapa bagian yang lebih kecil serangga, misalnya untuk menghitung jumlah segmen di tarsi, atau untuk melihat dari dekat antena. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut tentang menggunakan kunci untuk mengidentifikasi pesanan serangga .
Petani biasanya akan mengklasifikasikan serangga dalam 3 kelompok, tergantung pada perilaku mereka di ladang:
1.      Hama
Apakah spesies serangga adalah hama tergantung pada situasi. Definisi dari "hama" adalah: binatang merusak atau jengkel kepada manusia, binatang-nya, tanaman atau barang-barang, seperti serangga, tungau, nematoda, tikus, burung. Yang berarti serangga tertentu bisa menjadi hama dalam satu situasi, tetapi serangga yang sama akan bersikap netral dalam situasi lain. Misalnya, ulat dari ngengat Diamondback (Plutella xylostella) memakan kubis dan tanaman lainnya dari keluarga Cruciferae. Seorang petani yang tumbuh kembang kol atau kale Oleh karena itu akan menganggapnya sebagai hama. Tetapi bagi seorang petani yang tumbuh kentang atau pisang ngengat Diamondback adalah netral, serangga tidak bersalah.
2.      Bermanfaat serangga
Beberapa serangga bermanfaat bagi petani, karena mereka adalah musuh alami serangga lainnya. Predator serangga memakan serangga lain dan dengan cara ini mereka membantu mengendalikan hama serangga. Sebagai contoh bug Assassin membunuh ulat dan kumbang kumbang kecil pemakan kutu daun. serangga lain yang bermanfaat karena mereka membantu penyerbukan tanaman, misalnya lebah lebah dan menggagap. Ada serangga yang menghasilkan produk yang bermanfaat, misalnya madu (lebah madu) atau sutra (ulat). Dan di banyak negara serangga digunakan sebagai makanan.
3.      Netral serangga
Jika serangga bukan hama dan tidak menguntungkan dari yang kita dapat menyebutnya netral. Tetapi sekali lagi, benar-benar tergantung pada konteksnya. Dalam sawah nyamuk dapat dianggap sebagai serangga netral (tidak membahayakan tanaman), tapi di kamar tidur Anda, Anda akan menyebutnya sebagai hama.



MENGGELOLA HAMA SERANGGA DIKEBUN SAYUR
Kebanyakan serangga yang ditemukan di kebun tidak hama. Banyak menguntungkan, menggerogoti hama atau melakukan tugas-tugas lain yang bermanfaat. Salah satu strategi yang paling penting untuk berurusan dengan serangga adalah siklus belajar tentang kehidupan serangga, perilaku, habitat, dan diet, dan untuk mengenali yang hama dan yang benar-benar pinjaman Anda membantu. Kombinasi strategi mekanik dan budaya berikut ini biasanya bekerja dengan baik untuk mengurangi kerusakan yang disebabkan oleh hama serangga tanpa merugikan serangga bermanfaat.
Tumbuh kuat, sehat tanaman.
Bukti menunjukkan bahwa tanaman menekankan lebih mungkin akan diserang oleh serangga dan menderita kerusakan yang lebih serius. Terlalu banyak air atau terlalu sedikit atau pupuk dapat melemahkan tanaman. Perhatikan pada tanah Anda, menambahkan banyak bahan organik untuk membangun struktur yang baik, hasil panen, dan kapasitas air memegang. PH tanah Pastikan Anda berada dalam jangkauan yang tanaman Anda butuhkan. Tambahkan kapur atau belerang jika perlu disesuaikan. Tipis tanaman untuk jarak yang direkomendasikan dan menjaga gulma di cek untuk mengurangi persaingan antara tanaman.
1.      Rotasi tanaman.
Penanaman tanaman yang sama di tempat yang sama tahun demi tahun dapat menyebabkan populasi hama tumbuh, terutama populasi serangga tanah tinggal seperti belatung, wireworms, dan belatung. Jika menanam sebuah taman dimana tumbuh rumput tahun sebelumnya, tidak tumbuh tanaman rentan terhadap ulat atau wireworms.
2.      Pilih varietas hati-hati.
Direkomendasikan untuk varietas Pilih wilayah Anda dan mencari varietas yang tahan terhadap hama yang mungkin Anda alami. Sebagai contoh, labu butternut squash tahan terhadap hama penggerek pohon anggur.
3.      Praktek sanitasi yang baik.
Banyak hama menahan musim dingin pada gulma atau sisa-sisa tanaman di dalam atau di dekat taman. Hapus gulma dan mulsa organik, yang dapat menyediakan rumah bagi serangga, siput, dan siput.
4.      Periksa transplantasi.
Hindari tanaman yang penuh dengan nyamuk membawa ke kebun Anda. Hati-hati memeriksa transplantasi sebelum Anda membelinya.
5.      Waktu penanaman.
Kadang-kadang suatu penanaman lebih awal atau lambat akan kurang rentan terhadap hama serangga tertentu.
6.      Perapian hama
Drop mereka ke dalam air sabun untuk membunuh mereka.
7.      Gunakan hambatan.
Untuk mencegah kerusakan cutworm, tanaman transplantasi dalam kerah yang terbuat dari karton, kertas atap, atau cangkir pakai dengan pantat mereka dihapus. Kerah harus sekitar 4 inci dan 2 inci dikuburkan ke dalam tanah. Kuadrat tarpaper karpet atau ditempatkan dengan aman di sekitar tanaman keluarga muda kubis kubis dapat mencegah belatung lalat bertelur di dasar tanaman.
8.      Gunakan baris penutup.
Floating baris mencakup memungkinkan cahaya udara, dan air melalui tanaman, tapi tidak hama. Tempat meliputi lebih dari tanaman muda sampai mereka cukup besar untuk menangkis hama sendiri, atau sampai hama tidak lagi di sekitar. (Anchor mereka aman dengan tanah, kayu, pin penahan khusus, atau cara lain agar hama tidak dapat menyelinap masuk) Hapus mencakup sekitar 4 sampai 6 minggu ke musim sebelum suhu di balik selimut terlalu panas untuk tanaman. Tanaman seperti mentimun, terung, melon, dan labu perlu untuk mengatur penyerbukan serangga buah, sehingga menghapus baris mencakup sebelum tanaman mulai bunga. Komersial mencakup terbuat dari poliester atau sintetik berputar lainnya dan dapat digunakan kembali. Anda juga dapat menggunakan kain katun tipis.
9.      Mulsa dengan aluminium foil.
Hal ini dapat mengusir kutu daun, thrips, dan serangga lainnya. Ini mahal, bagaimanapun, dan praktis hanya pada skala yang sangat kecil.
10.  Gunakan perangkap kuning lengket.
Ini adalah cara yang baik untuk memonitor populasi serangga. Mereka jarang cukup untuk memberikan kendali, tetapi mereka membantu menjaga populasi whitefly rendah selama sebagai bahan lengket diganti ketika serangga menutupi permukaan papan.
11.  Memanfaatkan musuh alami.
Belajar mengenali dan melestarikan serangga yang memangsa atau parasitize hama. tawon kecil, misalnya, parasitize afid, meninggalkan emas membengkak untuk perunggu "mumi." Belum Menghasilkan wanita kumbang dan lacewings, yang tampak seperti aligator kecil, juga kebun sering. Lainnya "beneficials" mencakup laba-laba, tungau predator, serangga predator, pemangsa lalat, dan kumbang tanah. Perkenalkan predator, parasit, atau penyakit yang membunuh hama menjadi lebih praktis seperti yang kita mempelajari lebih lanjut tentang pengelolaan hama. Ingat, bagaimanapun, bahwa serangga menguntungkan akan pindah tempat jika ada hama tidak cukup untuk makan. Juga perlu diingat bahwa kebanyakan pestisida tidak membedakan antara yang bermanfaat dan hama serangga.
Jika semuanya gagal, pertimbangkan pestisida.
Jika strategi mekanik dan budaya tidak bekerja, pestisida dapat juga digunakan sebagai bagian dari program manajemen hama. Pastikan untuk hanya menggunakan jumlah yang Anda butuhkan dan hanya memperlakukan tanaman yang perlu mengobati. Spot perawatan efektif dan dapat praktis untuk tukang kebun di rumah.
Catatan:
Bahkan jika suatu pestisida botani di asal, mungkin beracun. Beberapa insektisida nabati lebih beracun dari beberapa insektisida sintetis yang umum tersedia. biopesticides mikroba seperti Bacillus thuringiensis (Bt), toksin yang diproduksi oleh bakteri yang membunuh ulat, adalah alternatif untuk beberapa pestisida kimia. insektisidal sabun dan minyak hortikultura adalah biopesticides lain yang mungkin berguna bagi hama tertentu, terutama kutu daun. diatome bumi, sebuah pengering, kadang-kadang digunakan untuk mengendalikan serangga, siput, dan siput. Setelah itu menjadi basah dan dipadatkan, bagaimanapun, kehilangan efektivitasnya. Sebelum menggunakan pestisida apapun, periksa label. Kedua tanaman yang ingin Anda memperlakukan dan merawat hama Anda untuk harus terdaftar pada label. Jika tidak, tidak menggunakan pestisida. Ikuti semua petunjuk label dengan hati-hati. Tidak peduli metode yang Anda pilih, menyimpan catatan dari apa yang Anda lakukan dan apakah berhasil. Catatan tersebut haruslah merupakan bantuan besar di masa depan ketika Anda dihadapkan dengan keputusan manajemen hama serupa.



DAFTAR PUSTAKA
Adisoemarto, S. 1993a. Upaya peningkatan pemanfaatan lebah madu di Indonesia: telaah terhadap status dan masalahnya. Berita Entomologi 3 (1): 53-64.
Adisoemarto, S. 1993b. Serangga penyerbuk. Seminar Sehari mengenai Serangga Penyerbuk. Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Purwokerto, September 1993.
Adisoemarto, S. 1999. Di tangan Kusnoto lilin itu menyala. In S. Sastrapradja (Ed. 1999): Bunga-bunga pun bermekaran: 3-10
Adisoemarto, S., S. Sosromarsono & M. Suhardjan. 1997. Asas pengelolaan serangga secara berkerlanjutan. Antisipasi pengembangan entomologi sampai 2010. Makalah Utama disampaikan dalam Simposium Entomologi. Bandung, Juni 1997.
Dammerman, K.W. 1948. The fauna of Krakatau. 1883-1933. Verhandelingen der Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen. Afd. Natuurkunde. Tweede Sectie, Deel XLIV. NV. Noord-Hollandsche Uitgevers Maatschappij.
Diaz, R.M. 2005. American Indians signs and symbols.
http://www.collectorsguide.com/fa/ fa095.shtml.
Lieftinck, M.A. & A.C.V. van Bemmel. 1945. The development of the Zoological Museum at Bogor. In P. Honig & F. Verdoorn. Science and scientists in the Netherlands Indies . Board for the Netherlands Indies, Surinam and Curacao, New York/Natuurweten-schappelijkTijdschrift voor Nederlandsch Indie  t r r t r , Vol. 102, Special Supplement: 226-231.
Sadjad, S., S. Adisoemarto & M.A. Rifai (Eds.). 1978. The brown planthopper (Nilaparvata lugens StŒl). Proc. Symp. Brown Planthopper. Third Inter-Congress of Pacific Science Associaion. Special Publication. LIPI. Jakarta, August 1978.
Sastrodihardjo, S., R.C.H. Soesilohadi, Purwaningsih & R.E. Putra. 2001. Ruang lingkup dan perkembangan biologi penyerbukan, ulasan tentang serangga penyerbuk. Simposium keanekaragman hayati artopoda pada sistem produksi pertanian. Cipayung, 16-18 Oktober 2000: 25-32.
Scott, D.C. 2004. Khephri. Return to the God. Website by David C. Scott of Intercity Oz., Inc.
Sheedy, K. 2005. The Coinage of Ephesus. Australian Centre for Ancient Numismatic Studies. MacQuarie University. 2005.
Snapper, I. 1945. Medical contributions from the Netherlands Indies. Science and Scientists in the Netherlands Indies. NatuurwetenschappelijkTijdschrift voor Nederlandsch Indi‘. Vol. 102-Special Supplement: 309-320.
Soetardi, R.G. 1950. De betekenis van insecten bij de bestuiving van Theobroma cacao L. Arch. Koffiecult. 17: 1-31.
Soetardi, R.G. 1958. Penjelidikan mengenai penggerek polong Crotalaria juncea di Djakarta. Contr. Gen. Agric. Res. Sta. Bogor 152, 101 pp.
Suhardjono, Y.R., Adianto & S. Adisoemarto. 2001. Simposium keanekaragman hayati artopoda pada sisem poduksi pertanian. Cipayung, 16-18 Oktober 2000: 9-24.
Wallace, A.R. 1890. The Malay Archipellago. Periplus (HK) Ltd

Leave a Reply

About me

Foto saya
Just a simple girl, tidak cukup beberapa huruf disini untuk menggambarkan siapa saya | anak bungsu dari Keluarga bugis yang tersesat di Kalimantan | ♥ Buku, Laut, Cg, Sheila On Seven, Hijau, Jalanjalan, dan Makan Enak | Urban Farming, and Go Green!
Diberdayakan oleh Blogger.